PERISTIWA HUDAIBIYAH
![]() |
Situs Hudaibiyah (Ilustrasi) |
Perkembangan yang terjadi di Jazirah Arab semakin menguntung pihak kaum Muslimin. Sedikit demi sedikit sudah mulai terlihat sinyal-sinyal kemenangan yang besar dan keberhasilan dakwah Islam. Langkah permulaan sudah dirancang untuk mendapatkan pengakuan terhadap hak-hak kaum Muslimin dalam melakasanakan ibadah di Masjidil Haram, yang dihalang-halangi orang-orang musyrik selama enam tahun.
Selagi masih berada di Madinah, Rasulullah ﷺ bermimpi bahwa
beliau bersama para sahabat memasuki Masjidil Haram, mengambil kunci Ka’bah,
melaksanakan thawaf dan umrah, sebagaian sahabat ada yang mencukur dan sebagian
lain ada yang memendekkan rambutnya. Nabi ﷺ menyampaikan
mimpinya ini kepada para sahabat sehingga merasa senanglah mereka dan mengira bahwa
pada tahun itu pulalah mereka akan bisa memasuki Makkah. Tak lama kemudian Nabi
ﷺ mengumumkan
hendak melaksanakan umrah. Maka mereka melakukan persiapan untuk mengadakan
perjalanan jauh. Bahkan orang-orang Badui yang mendengar niat Nabi ﷺ ini juga berdatangan
untuk bergabung.
Nabi ﷺ mencuci pakaian lalu menaiki untanya yang
bernama Al-Qashwa, sementara Madinah diserahkan kepada Ibnu Ummi Maktum atau
pun Numailah Al-Laitsy. Keberangkatan beliau tepat pada hari Senin tanggal 1
Dzul Qa’dah 6 H. Diantara istri Nabi ﷺ yang ikut
adalah Ummu Salamah. Adapun jumlah sahabat yang ibut ada seribu empat ratus
orang, namun ada yang mengatakan seribu lima ratus orang. Mereka berangkat
tanpa membawa senjata apapun kecuali senjata yang biasa dibawa oleh musafir,
yaitu pedang yang dimasukkan ke dalam sarungnya.[1]
Hanya saja, perjalanan ini tidak berjalan sebagaimana
yang diinginkan. Kaum Quraisy berupaya untuk menggagalkannya. Setelah mendengar
keberangkatan Rasulullah ﷺ, Quraisy segera menyelenggarakan majelis
permusyawaratan. Keputusannya, apapun caranya mereka hendak menghalangi
orang-orang Muslim memasuki Masjidil Haram. Orang-orang Quraisy memberangkatkan
pasukan dan tiba di Dzi Thuwa. Juga, ada dua ratus penunggang kuda di bawah
komando Khalid bin Walid yang mengambil posisi di Kura’ Al-Ghamim, di jalur
utama menuju Makkah.
Khalid bin Walid melihat orang-orang Muslim melaksanakan
Shalat Dzuhur sehingga dia berkata, “mereka pasti lengah, andaikan kita
menyerang mereka secara serentak tentu kita bisa mengalahkan mereka”. Maka dia
memutuskan untuk menyerang kaum Muslimin saat shalat ashar secara serentak.
Tetapi Allah menurunkan hukum shalat khauf sehingga kesempatan itu pun hilang
dari tangan Khalid dan Quraisy.
Rasulullah ﷺ mengambil
jalur yang sulit dan berat di antara celah-celah gunung, membawa para sahabat
ke arah kanan, melewati Al-Hamsy menuju Taniyatul Murar sebelum turun ke
Hudaibiyah. Beliau tidak melewati jalan utama menuju Makkah yang melewati
Tan’im, atau beliau tidak melewati jalan ke arah kiri. Setelah Khalid bin
Al-Walid dan pasukannya melihat kepulan debu yang ditinggalkan kaum Muslimin
dan dia menyadari bahwa kaum Muslimin itu telah lolos, maka secepatnya ia
kembali ke Makkah dan memperingatkan Quraisy.
Raulullah ﷺ meneruskan
perjalanan. Setelah tiba di Tsaniyatul Murar, Al-Qashwa menderum. Orang-orang
berkata, “biarkan ia istirahat sebentar, biarkan ia istirahat sebentar!”.
Lalu unta itu disuruh bangkit kembali. Mereka berkata,
“Al-Qashwa tetap menderum, Al-Qashwa tetap menderum”.
Nabi ﷺ bersabda, “Tidaklah Al-Qashwa menderum,
dan tidaklah tindakannya itu karena kehendaknya sendiri melainkan dia ditahan
(malaikat) yang dulu menahan pasukan gajah.” Kemudian Nabi ﷺ bersabda lagi,
“Demi yang diriku ada di tangan-Nya, jika mereka meminta kepadaku suatu rencana
untuk menghormati apa-apa yang telah disucikan Allah, tentu aku akan
memberikannya.” Dan dibentaknya unta itu sehingga bangkit dan berjalan lagi
hingga memasuki ujung Hudaibiyah, di dekat suatu kolam yang disana hanya
terdapat air sedikit. Orang-orang mengambilnya sedikit-sedikit namun tetap
tidak cukup. Lalu diadukanlah keadaan itu kepada Nabi ﷺ, sehingga
beliau memungut anak panah dari tabungnya lalu memerintahkan agar anak panah
itu ditancapkan di kolam dan air pun memancar deras. Orang-orang terus menerus
mengambil air itu hingga mereka puas.
Tak ayal lagi, Quraisy tidak senang dengan kedatangan
Nabi ﷺ meski kedatangan
nabi ﷺ itu dengan
jalan damai sehingga mereka merencanakan berbagai jalan untuk menghalanginya.
Ketika Nabi ﷺ sudah di
Hudaibiyah dan sudah merasa tenang berada disana, muncullah Budail bin Warqa’
Al-Khuza’y bersama beberapa orang dari Banu Khuza’ah. Budail berkata: “Saat aku
meninggalkan Ka’ab bin Lu’ay, mereka siap berangkat ke Hudaibiyah dengan
membawa pasukan. Mereka hendak memerangi engkau dan menghalangi engkau memasuki
Masjidil Haram”.
Rasulullah ﷺ bersabda,
“Sesungguhnya kami datang bukan untuk memerangi seseorang. Tetapi kami datang
untuk melakukan umrah. Rupanya orang-orang Quraisy sudah semakin surut dan
menjadi buta karena peperangan. Jika mereka menghendaki, engkau bisa membujuk
mereka dan membukakan jalan bagiku, dan jika mereka menghendaki untuk memasuki
sesuatu yang biasa dimasuki manusia maka mereka bisa melakukannya yang berarti
mereka masih memiliki nyali. Namun jika tidak menghendaki kecuali perang, maka
demi diriku yang ada di tangan-Nya, aku pasti akan melayani keinginan mereka
hingga kemenangan yang lalu hanya menjadi milikku atau biarlah Allah menentukan
keputusannya.”
Budail berkata, “Aku akan menyampaikan apa yang engkau
katakan ini kepada mereka”.
Maka berangkatlah Budail menemui Quraisy dan mengatakan
kepada mereka,
“Aku mendengar dia berkata begini dan begitu,”.
Kemudian Quraisy mengutus Mikraz dan Hafsh.
Saat melihat kehadirannya Rasulullah ﷺ bersabda, “Dia
adalah orang yang suka berkhianat”.
Saat sudah berhadapan, Nabi ﷺ mengucapkan
seperti yang sudah diucapkannya kepada Budail dan rekan-rekannya dari Bani
Khuza’ah. Setelah itu Budail kembali lagi menemui Quraisy dan menyampaikan
sabda Nabi ﷺ.
Terdapat seorang dari Kinanah yang bernama Al-Hulais bin
Al-Qomah. Dia berkata kepada Quraisy, “biarkan aku menemui Muhammad”.
Saat Rasulullah ﷺ dan para
sahabat melihat kedatangannya dari jauh Nabi bersabda, “itu adalah Fulan
berasal dari kaum yang sangat menghormati hewan qurban. Lepaskan hewan-hewan
qurban agar mendekatinya”.
Sementara itu para sahabat menyambut Al-Hulais dengan
talbiyah. Melihat hal itu, Al-Hulais berkata, “Maha Suci Allah. Tidak
selayaknya orang-orang Quraisy menghalangi mereka untuk memasuki Masjidil
Haram”. Lalu dia langsung balik badan menemui rekan-rekannya dari Quraisy
sambil berkata,
“Aku melihat hewan-hewan qurban yang telah diikat dan
diberi tanda. Menurut pendapatku tidak selayaknya mereka dihalang-halangi”.
Setelah itu terjadi perdebatan sengit antara Hulais
dengan orang-orang Quraisy.
Sekarang gilirannya Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi untuk
maju menemui Nabi ﷺ sebagai utusan Quraisy. Nabi ﷺ sendiri ketika
berhadapan dengan Urwah ini, beliau tetap menyampaiakan apa yang telah
disampaikannya kepada Budail.
Urwah berkata, “wahai Muhammad, apa pendapatmu jika
kaummu binasa semua? Apakah engkau pernah mendengar ada seseorang dari bangsa
Arab yang membinasakan keluarganya sendiri sebelummu? Jika memang ada pendapat
yang lain, maka demi Allah aku mempunyai beberapa alternatif dan juga kulihat semua
rakyat akan keluar dan menyerumu”.
Nabi berbisik, “Hisaplah darah Lata hingga mati”.
“Siapa yang engkau maksudkan?” tanya Urwah.
“Ini, Abu bakar,” para sahabat menjawab. Saat itu Abu
Bakar ada di belakang Nabi ﷺ
Urwah berkata, “Demi diriku yang ada di Tangan-Nya,
andaikata tidak karena tugas di pundakku saat ini, tentu aku akan memenuhi apa
yang engkau inginkan”.
Lalu Urwah berbincang-bincang dengan Nabi ﷺ. Setiap kali
berkata, Urwah memegang jenggot Nabi ﷺ.
Al-Mughirah bin Syu’bah berjaga-jaga di dekat kepala Nabi
ﷺ sambil
menghunus pedangnya. Ketika Urwah hendak memegang jenggot Nabi ﷺ, maka
Al-Mughirah memukul tangan Urwah dengan punggung pedangnya sambil berkata,
“Jauhkan tanganmu dari jenggot Rasulullah ﷺ!”
Urwah mengdongakkan kepalanya lalu bertanya, “Siapakah
orang ini?”
“Al-Mughirah bin Syu’bah,” jawab para sahabat yang ada di
dekatnya.
Al-Mughirah sendiri sebenarnya adalah keponakan Urwah. Sebelum
Al-Mughirah masuk Islam, dia pernah membunuh beberapa orang dan merampas harta
mereka. Dan Urwah harus mengeluarkan uang tebusan untuk diserahkan kepada
keluarga korban. Setelah itu Al-Mughirah mendatangi Rasulullah ﷺ dan masuk
Islam. Ketika itu Nabi ﷺ bersabda, “aku bisa menerima keislamanmu,
tetapi harta benda yang engkau bawa aku tidak mempunyai urusan dengannya.”
Urwah berkata kepada Al-Mughirah:
“Hai anak nakal! Bukankah aku yang membereskan urusan
kenakalanmu dulu?”
Kemudian Urwah menyibak kerumunan para sahabat dan
kembali kepada rekan-rekannya dari kaum Quraisy.
“Wahai semua orang, demi Allah aku pernah menjadi utusan
untuk menemui raja, Kaisar dan Kisra. Demi Allah, tidak pernah kulihat seorang
raja yang diagung-agungkan rekan-rekannya seperti yang dilakukan rekan-rekannya
Muhammad terhadapnya. Demi Allah, setiap kali Muhammad mengeluarkan dahak, maka
dahak itu pasti jatuh di telapak tangan salah seorang di antara mereka lalu
orang itu mengusap-usapkannya ke wajah atau ke kulit badanya. Jika dia
memberikan perintah, maka mereka segera melaksanakan perintahnya. Jika dia
wudlu, maka mereka seperti orang yang sedang bertengkar karena berebut sisa air
wudlunya. Jika dia berbicara, maka mereka menghentikan pembicaraan di depannya.
Mereka tidak pernah menghunjam pandangan ke wajahnya karena penghormatan
terhadap dirinya. Dia telah menyampaikan tawaran yang layak kepada kalian. Karena
itu terimalah tawaran itu.”
Klik Untuk Lanjutkan
Membaca :
Pernikahan Khadijah Dengan Muhammad
Permulaan Turunnya Wahyu Kepada Muhammad
Penolakan Dan Ancaman Kaum Quraisy
Pernikahan ‘Aisyah Dengan Nabi ﷺ
Peran ‘Aisyah Sebagai Perempuan Yang Paling Banyak Meriwayatkan Hadits
Peran ‘Aisyah Dan Istri-Istri Nabi Dalam Perang
الإفْكِ Berita
Bohong Yang Menimpa ‘Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ)
Hukuman yang Ditimpakan kepada Para Pembawa Berita Bohong
HIRUK PIKUK dalam KELUARGA NABI ﷺ
[1] Al-Mubarakfuri,
Shafiyyurahman, Syaikh. Arrahiiq Al-Makhtum/ Sirah Nabawiyah, Penerjemah:
Kathur Suhardi; Penyunting Yasir Maqosid; cet 1 – Jakarta, Al-Kautsar, 1997.