HIRUK PIKUK dalam KELUARGA NABI ﷺ
Selama pernikahan ‘Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) dan Nabi ﷺ pulalah ummat Muslim bersiap memperluas pengaruh dengan cepat. Mekkah pada akhirnya ditaklukkan oleh pasukan Muslim, dan persiapan-persiapan mulai dilakukan pertama kali untuk begitu banyaknya pertempuran. Keberhasilan berperang melawan Romawi dan Persia setelah surat-surat yang dilayangkan Nabi ﷺ yang mengundang Heraklius dan Kisra untuk menerima Islam dan beribadah hanya kepada Allah ditolak dengan cara yang merendahkan.
Ekspansi luarbiasa ini – sebuah gagasan
yang terlihat seperti sebuah mimpi gila saat kematian Khadijah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ)
mulai digembargemborkan. Pada tahun 6 H, dengan perjanjian
Hudaibiah, dengan kebijaksanaan dimana perdamaian antara kaum Quraisy dan ummat
Muslim dideklarasikan untuk sepuluh tahun ke depan, dan hak ummat Muslim untuk
memasuki kota Mekkah dan melakukan umrah tidak dilarang lagi dan disetujui oleh
orang-orang Quraisy.[1]
Meski ummat Muslim harus menunggu satu
tahun sebelum mereka dapat melaksanakan umrah, tahun itu tidak lama terlewati.
Dalam interval itu kaum Yahudi Khaybar, sebagaimana kaum Yahudi lain yang
mengelilingi Madinah, berusaha menghancurkan masyarakat Muslim dengan cara
merusak perjanjian damai mereka dengan masyarakat Muslim dan mensponsori para
penyembah berhala. Mereka akhirnya diperangi dan berhasil ditaklukkan.
Setelah Yahudi
Khaybar ini berhasil ditaklukkan, seorang perempuan yahudi berusaha meracuni
Nabi dengan cara menyajikan daging beracun untuk Nabi, dimana makanan ini
sendiri memberitahukan kepada Nabi tentang keberacunannya sehingga Nabi hanya
mencicipinya sedikit. Namun demikian, seorang sahabat telah
memakan daging itu yang mengakibatkannya meninggal. Rasulullah sendiri
mengampuni perempuan yahudi itu dan membebaskannya.
Yahudi Khaybar diizinkan tinggal di
tanah yang disediakan untuk mereka dengan syarat wajib membayar jizyah kepada
masyarakat Muslim satu tahun sekali. Sebagai hasilnya, beberapa orang Muslim
mulai tumbuh lebih sejahtera daripada sebelumnya.
Memang pada suatu kesempatan,
istri-istri nabi, dipimpin oleh ‘Aisyah dan Hafshah, pernah meminta pada Nabi
sejumlah uang yang tak dimilikinya. Nabi memang tak pernah tidur pada malam
harinya dengan memiliki uang. Nabi ﷺ dipusingkan dengan keadaan ini bukan
karena dia tak punya uang untuk diberikan, melainkan karena nafsu yang mereka
perlihatkan itu.
Saat itu, Abū Bakr datang bersama dengan ‘Umar ibn Khatab dan mereka menemukan Rasulullah ﷺ sedang duduk dikelilingi istri-istrinya yang semuanya diam. Abū Bakr berkata pada dirinya sendiri,
”Demi Allah, aku akan mengucapkan sesuatu yang akan membuat Rasulullah gembira.”
Maka dia berkata,
“Ya Rasulullah, jika aku melihat putri
Kahrija memintaku uang, maka aku akan mencekiknya!”
Rasulullah tersenyum dan berkata,
“Mereka yang berkeliling di sekitarku
ini memintaku uang.”
Mendengar itu maka Abū Bakr menyeret ‘Aisyah
sementara ‘Umar menyeret Hafshah. Keduanya
berseru,
“Apakah kalian meminta Rasulullah
sesuatu yang tidak dimilikinya?”
Kedua orang perempuan itu berkata,
“Demi Allah, kami tidak akan pernah
meminta Rasulullah sesuatu yang tidak dimilikinya!”
Ini bukanlah satu-satunya masalah
perkawinan yang dialami Nabi saat itu. Ada semacam persaingan hebat antara
beberapa istri Nabi dan Hafshah sendiri pernah bercerita kepada ‘Aisyah sesuatu
dimana Nabi ﷺ
mengatakan pada Hafshah agar tidak mengungkapkannya karena
merupakan sesuatu yang akan meningkatkan friksi di antara istri-istri Nabi.
Beberapa sumber mengatakan bahwa Nabi berkata padanya bahwa Abū Bakr dan ‘Umar
akan menjadi pemimpin setelah Nabi.
Dalam beberapa kasus, Nabi pernah
mengambil jarak dengan istrinya untuk beberapa bulan. Ini menyebabkan beberapa
sahabat mulai berpikir bahwa Nabi akan menceraikan mereka atau bahkan sudah
melakukannya.
Diriwayatkan dari ‘Umar ibn Khāttab (رضي
الله عنه) bahwa ia pergi menjenguk Nabi ﷺ yang berdiam sendirian dalam sebuah kamar
kecil di atas loteng untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. Sebelumnya dia
menemui dulu putrinya, Hafshah yang sedang menangis, dan menanyakan padanya
apakah Nabi telah menceraikan istri-istrinya.
“Aku tidak tahu,” jawab Hafshah sambil
tersedu-sedu.
Lalu ‘Umar masuk dan meminta izin
menemui Nabi. Setelah dia mendapatkan izin, maka naiklah ‘Umar melalui tangga
kayu yang biasa digunakan Rasulullah untuk naik turun menuju sebuah kamar yang berukuran kecil.
“Aku
lalu segera masuk menemui Rasulullah ﷺ yang sedang berbaring di atas sebuah
tikar. Aku duduk di dekatnya lalu beliau menurunkan kain sarungnya dan tidak
ada sesuatu lain yang menutupi beliau selain kain itu. Terlihatlah tikar telah
meninggalkan bekas di tubuh beliau. Kemudian aku melayangkan pandangan ke
sekitar kamar beliau. Tiba-tiba aku melihat segenggam gandum kira-kira seberat
satu sha‘ dan daun penyamak kulit di salah satu sudut kamar serta sehelai kulit
binatang yang belum sempurna disamak. Seketika kedua mataku meneteskan air mata
tanpa dapat kutahan.”
‘Umar
bercerita. “Rasulullah bertanya: ‘Apakah yang membuatmu menangis, wahai putra
Khathab?’ Aku menjawab: ‘Wahai Rasulullah, bagaimana aku tidak menangis, tikar
itu telah membekas di pinggangmu dan di tempat ini aku tidak melihat yang lain
dari apa yang telah aku lihat. Sementara Kaisar (raja Romawi) dan Kisra (raja
Persia) bergelimang buah-buahan dan sungai-sungai sedangkan engkau, utusan
Allah dan hamba pilihan-Nya hanya berada dalam sebuah kamar pengasingan seperti
ini.’ Rasulullah ﷺ
lalu bersabda: ‘Wahai
putra Khathab, apakah kamu tidak rela, jika akhirat menjadi bagian kita dan
dunia menjadi bagian mereka?’ Aku menjawab: ‘Tentu saja aku rela.’”
‘Umar
berkata: “Ketika aku pertama kali masuk, aku melihat kemarahan di wajah beliau.
Lalu aku tanyakan kepada beliau: ‘Wahai Rasulullah, apakah yang menyusahkanmu
dari urusan istri-istrimu? Jika engkau ceraikan mereka, maka sesungguhnya Allah
dan seluruh malaikat-Nya akan tetap bersama engkau begitu juga Jibril, Mikail,
aku dan Abū Bakr serta segenap orang-orang mukmin pun akan tetap bersamamu.’
Sambil mengucapkan kata-kata itu aku selalu memuji Allah dan berharap semoga
Allah membenarkan ucapan yang aku lontarkan tadi. Kemudian turunlah ayat
takhyir (memberikan pilihan) berikut ini:”
إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا وَإِنْ
تَظَاهَرَا عَلَيْهِ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ مَوْلاهُ وَجِبْرِيلُ وَصَالِحُ
الْمُؤْمِنِينَ وَالْمَلائِكَةُ بَعْدَ ذَلِكَ ظَهِيرٌ
عَسَى رَبُّهُ إِنْ طَلَّقَكُنَّ أَنْ يُبْدِلَهُ
أَزْوَاجًا خَيْرًا مِنْكُنَّ مُسْلِمَاتٍ مُؤْمِنَاتٍ قَانِتَاتٍ تَائِبَاتٍ
عَابِدَاتٍ سَائِحَاتٍ ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارًا
Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah,
maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan
jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah
adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik;
dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula. Jika Nabi
menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan
isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang
bertaubat, yang mengerjakan ibadah, yang berpuasa, yang
janda dan yang perawan.
(Quran S. At-Tahriim
66:4-5)[2]
Nabi Muhammad ﷺ tak pernah menceraikan istri-istrinya, dan
seperti yang kemudian kita sadari bagaimana mereka hidup, semoga Allah meridlai
mereka, sangat jelas bahwa mereka memiliki kualitas manusia seperti yang
digambarkan dalam ayat terakhir di atas. Barangkali ayat ini diturunkan untuk
mengingatkan mereka, sebuah peringatan bahwa mereka akan dikenang sepanjang
hidup mereka dimana kebanyakan mereka dapat hidup jauh lebih lama setelah
kematian Nabi ﷺ.
Kembali kepada kunjungan Sayyidina ‘Umar
kepada Nabi ﷺ
mengenai perpisahan Nabi ﷺ
dengan istri-istrinya selama sebulan, ‘Umar bertanya,
“Wahai
Rasulullah, apakah engkau telah menceraikan mereka?” Maka Nabi ﷺ menjawab,
“Tidak.”
Maka setelah berbicara beberapa lama dan
bagaimana di Mekkah laki-laki cenderung mendominasi kaum perempuan, sementara
di Madinah kaum perempuan yang cenderung mendominasi laki-laki. Itulah
apa yang telah dipelajari kaum perempuan Mekkah setelah mereka melakukan hijrah
– ‘Umar lalu turun dan berdiri di pintu masjid dan meninggikan suaranya.
“Rasulullah
ﷺ
tidak menceraikan istri-istrinya."
Setelah satu bulan, Nabi Muhammad ﷺ untuk pertama kali masuk mengunjungi ‘Aisyah
di kamarnya.
‘Aisyah begitu
senang melihat Nabi, namun menjadi lebih serius saat Nabi menyampaikan bahwa
beberapa ayat Al-Qur’an telah diwahyukan kepadanya dan meminta Nabi memberikan
dua pilihan kepada ‘Aisyah.
"Jangan membuat keputusan yang
terburu-buru,” katanya, “dan tanyakan dulu kepada kedua orangtuamu.”
Nabi kemudian membacakan ayat-ayat ini:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ
الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ
وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلا
وَإِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
وَالدَّارَ الآخِرَةَ فَإِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ مِنْكُنَّ أَجْرًا
عَظِيمًا
Hai Nabi,
katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian mengingini
kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah
dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki
(keridlaan) Allah dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka
sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala
yang besar.
(Quran S. Al-Ahzaab;
33:28-29)
"Jadi tentang soal inikah aku disuruh
untuk meminta pertimbangan kedua orang tuaku?"
jawab ‘Aisyah. "Sesungguhnya
aku menghendaki Allah dan Rasul-Nya serta kesenangan akhirat."
Dan jawaban ‘Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ)
ini diikuti juga oleh istri-istri nabi yang lain.[3]
‘Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ)
terbukti dengan kata-katanya itu baik ketika Nabi ﷺ masih hidup, pun ketika Rasulullah ﷺ telah tiada.
Suatu ketika, saat kaum Muslim diberi
kekayaan yang besar, ‘Aisyah juga mendapatkan seratus ribu dirham. ‘Aisyah
dalam keadaan berpuasa ketika dia menerima uang itu lalu memberikan uang itu
kepada orang miskin dan membutuhkan, padahal di rumahnya dia tak memiliki harta
benda. Sesaat setelah itu, pembantunya berkata padanya,
“Tidak dapatkah kau mengambil uang
sekedar seharga daging untuk buka puasamu?”
“Jika saja aku berpikir demikian,” jawab
‘Aisyah, “maka aku tak akan melakukannya!” (Maksudnya tak akan jadi bersedekah
- pent)
Klik Untuk Lanjutkan Membaca :
Pernikahan Khadijah Dengan Muhammad
Permulaan Turunnya Wahyu Kepada Muhammad
Penolakan Dan Ancaman Kaum Quraisy
Pernikahan ‘Aisyah Dengan Nabi ﷺ
Peran ‘Aisyah Sebagai Perempuan Yang Paling Banyak Meriwayatkan Hadits
Peran ‘Aisyah Dan Istri-Istri Nabi Dalam Perang
الإفْكِ Berita
Bohong Yang Menimpa ‘Aisyah (رضي
الله ﻋﻧﻬﺎ)
Hukuman yang Ditimpakan kepada Para Pembawa Berita Bohong
HIRUK PIKUK dalam KELUARGA NABI ﷺ
[1] Hadits riwayat Sahal
ibn Hunaif (رضي
الله ﻋﻧﮫ):
Dari Abu Wail (رضي
الله ﻋﻧﮫ) ia berkata: Pada perang Shiffin,
Sahal ibn Hunaif berdiri dan berkata: Wahai manusia! Tuduhlah diri kamu
sekalian, kita telah bersama Rasulullah (ﷺ)
pada hari perjanjian Hudaibiah. Seandainya kita memilih berperang, niscaya kita
akan berperang. Peristiwa itu terjadi pada waktu perjanjian damai antara
Rasulullah (ﷺ) dengan kaum musyrikin. Lalu datanglah ‘Umar ibn
Khathab menemui Rasulullah (ﷺ) dan bertanya: Wahai Rasulullah,
bukankah kita ini di pihak yang benar dan mereka di pihak yang batil?
Rasulullah (ﷺ) menjawab: Benar. Ia bertanya lagi: Bukankah
prajurit-prajurit kita yang terbunuh berada di surga dan prajurit-prajurit
mereka yang terbunuh berada di neraka? Rasulullah (ﷺ)
kembali menjawab: Benar. Ia bertanya lagi: Kalau begitu, mengapa kita
memberikan kehinaan bagi agama kita lalu kembali pulang padahal Allah belum
memutuskan siapa yang menang antara kita dan mereka? Rasulullah (ﷺ)
bersabda: Wahai Ibnu Khathab! Sesungguhnya aku ini adalah utusan Allah.
Percayalah, Allah tidak akan menyia-nyiakan aku selamanya. Lalu ‘Umar bertolak kembali
dalam keadaan tidak sabar dan emosi menemui Abū Bakr dan berkata: Wahai Abū
Bakr! Bukankah kita ini di pihak yang benar dan mereka itu di pihak yang batil?
Abū Bakr menjawab: Benar. ‘Umar bertanya: Bukankah prajurit-prajurit kita yang
terbunuh akan masuk surga dan prajurit-prajurit mereka yang terbunuh akan masuk
neraka? Abū Bakr menjawab: Benar. ‘Umar bertanya lagi: Kalau demikian, mengapa
kita harus memberikan kehinaan kepada agama kita dan kembali pulang (Madinah)
padahal Allah belum memutuskan siapa yang menang antara kita dan mereka. Abū
Bakr menjawab: Wahai Ibnu Khathab! Sesungguhnya beliau itu adalah utusan Allah.
Percayalah, Allah selamanya tidak akan menyia-nyiakan beliau. Selanjutnya
turunlah ayat Alquran atas Rasulullah (ﷺ) membawa
berita kemenangan lalu beliau mengutus seseorang menemui ‘Umar untuk membacakan
ayat itu kepadanya. ‘Umar bertanya: Wahai Rasulullah, apakah ini tanda
kemenangan? Beliau menjawab: Ya. Kemudian legalah hati ‘Umar dan ia pun segera
berlalu. (Shahih Muslim No.3338)
[2] Hadits
riwayat Umar bin Khathab (رضي
الله ﻋﻧﮫ):
Ketika Nabi (ﷺ)
tidak menggauli istri-istrinya, beliau berkata: Aku memasuki mesjid, lalu aku
melihat orang-orang memukulkan tanah dengan batu-batu kerikil sambil berkata:
Rasulullah (ﷺ)
telah menceraikan istri-istrinya. Hal itu terjadi sebelum para istri nabi diperintahkan
memakai hijab. Umar berkata: Aku berkata: Aku harus mengetahui kejadian
sebenarnya hari ini! Maka aku mendatangi Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) dan bertanya: Wahai putri Abu Bakar, sudah puaskah kamu
menyakiti Rasulullah (ﷺ)?
Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ)
menjawab: Apa urusanmu denganku, wahai putra Khathab! Nasihatilah putrimu
sendiri! Maka setelah itu aku langsung menemui Hafshah binti Umar dan aku
katakan kepadanya: Wahai Hafshah, sudah puaskah kamu menyakiti Rasulullah (ﷺ)? Demi Allah, sesungguhnya kamu tahu bahwa Rasulullah (ﷺ) tidak menyukaimu. Seandainya bukan karena aku, niscaya
Rasulullah (ﷺ)
sudah menceraikanmu. Maka menangislah Hafshah sekuat-kuatnya. Aku bertanya: Di
manakah Rasulullah (ﷺ)
sekarang berada? Ia menjawab: Di tempatnya di kamar atas. Aku segera masuk,
namun ternyata di sana telah berada Rabah, pelayan Rasulullah (ﷺ) yang sedang duduk di ambang pintu kamar atas sambil
menggantungkan kedua kakinya pada tangga kayu yang digunakan Rasulullah untuk
naik-turun. Lalu aku berseru memanggil: Wahai Rabah, mintakan izin untukku
menemui Rasulullah (ﷺ)!
Kemudian Rabah memandang ke arah kamar Rasulullah (ﷺ) lalu memandangku tanpa berkata apa-apa. Aku berkata lagi:
Wahai Rabah, mintakan izin untukku menemui Rasulullah (ﷺ)! Sekali lagi ia hanya memandang ke arah kamar Rasulullah
kemudian ke arahku tanpa berkata apa-apa. Akhirnya aku mengangkat suara dan
berseru: Wahai Rabah, mintakan aku izin untuk menemui Rasulullah! Aku mengira
Rasulullah menyangka aku datang demi kepentingan Hafshah. Demi Allah, kalau beliau
menyuruhku untuk memukul lehernya maka segera akan aku laksanakan perintah
beliau itu. Kemudian aku keraskan lagi suaraku, dan akhirnya Rabah memberikan
isyarat kepadaku supaya menaiki tangga. Aku lalu segera masuk menemui
Rasulullah (ﷺ)
yang sedang berbaring di atas sebuah tikar. Aku duduk di dekatnya lalu beliau
menurunkan kain sarungnya dan tidak ada sesuatu lain yang menutupi beliau
selain kain itu. Terlihatlah tikar telah meninggalkan bekas di tubuh beliau.
Kemudian aku melayangkan pandangan ke sekitar kamar beliau. Tiba-tiba aku
melihat segenggam gandum kira-kira seberat satu sha‘ dan daun penyamak kulit di
salah satu sudut kamar serta sehelai kulit binatang yang belum sempurna
disamak. Seketika kedua mataku meneteskan air mata tanpa dapat kutahan.
Rasulullah bertanya: Apakah yang membuatmu menangis, wahai putra Khathab? Aku
menjawab: Wahai Rasulullah, bagaimana aku tidak menangis, tikar itu telah
membekas di pinggangmu dan tempat ini aku tidak melihat yang lain dari apa yang
telah aku lihat. Sementara kaisar (raja Romawi) dan kisra (raja Persia)
bergelimang buah-buahan dan sungai-sungai sedangkan engkau adalah utusan Allah
dan hamba pilihan-Nya hanya berada dalam sebuah kamar pengasingan seperti ini.
Rasulullah (ﷺ)
lalu bersabda: Wahai putra Khathab, apakah kamu tidak rela, jika akhirat
menjadi bagian kita dan dunia menjadi bagian mereka? Aku menjawab: Tentu saja
aku rela. Umar berkata: Ketika aku pertama kali masuk, aku melihat kemarahan di
wajah beliau. Lalu aku tanyakan kepada beliau: Wahai Rasulullah, apakah yang
menyusahkanmu dari urusan istri-istrimu? Jika engkau ceraikan mereka, maka
sesungguhnya Allah dan seluruh malaikat-Nya akan tetap bersama engkau begitu
juga Jibril, Mikail, aku dan Abu Bakar serta segenap orang-orang mukmin pun
juga tetap bersamamu. Sambil mengucapkan kata-kata itu aku selalu memuji Allah
dan berharap semoga Allah membenarkan ucapan yang aku lontarkan tadi. Kemudian
turunlah ayat takhyir (memberikan pilihan) berikut ini: “Jika Nabi (ﷺ) menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti
kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu. Jika kamu berdua
bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya
dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik, dan selain dari itu
malaikat-malaikat adalah penolongnya (pula)”. Pada saat itu Aisyah (رضي
الله ﻋﻧﻬﺎ) dan Hafshah (رضي
الله ﻋﻧﻬﺎ) telah bersekongkol
terhadap istri-istri Nabi (ﷺ)
yang lainnya. Aku katakan kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah, apakah engkau
telah menceraikan mereka? Beliau menjawab: Tidak. Kemudian aku jelaskan kepada
beliau, bahwa sewaktu aku memasuki mesjid, aku melihat kaum muslimin
memukul-mukulkan batu kerikil ke tanah sambil berkata bahwa Rasulullah (ﷺ) telah menceraikan istri-istrinya. Apakah perlu aku turun untuk
memberitahukan mereka bahwa sebenarnya engkau tidak menceraikan istri-istrimu.
Beliau bersabda: Boleh, kalau memang kamu ingin. Aku masih tetap berbicara
dengan beliau sampai akhirnya aku melihat beliau benar-benar reda dari
kemarahannya. Bahkan beliau sudah dapat tersenyum dan tertawa. Dan Rasulullah (ﷺ) adalah orang yang paling indah gigi serinya. Kemudian
Rasulullah turun dan aku pun ikut turun. Aku turun terlebih dahulu lalu aku
pegang erat-erat batang pohon yang digunakan tangga tersebut dan Rasulullah pun
turun seakan-akan beliau jalan di atas tanah dan tidak memegang apapun dengan
tangannya. Aku berkata kepada beliau: Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau
berada di dalam kamar itu selama dua puluh sembilan hari. Beliau bersabda:
Sesungguhnya sebulan itu ada yang dua puluh sembilan hari. Lalu aku berdiri di
pintu mesjid sambil berseru dengan suara sekeras-kerasnya: Rasulullah (ﷺ) tidak menceraikan istri-istrinya. Kemudian turunlah ayat: Dan
apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan,
mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan
Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Dan
akulah orang yang ingin mengetahui perkara itu. Maka Allah Taala lalu
menurunkan ayat takhyir (Shahih Muslim No.2704)
[3] Hadits
riwayat Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ),
ia berkata:
Ketika Rasulullah (ﷺ)
diperintahkan memberikan pilihan kepada istri-istrinya, beliau memulai dari
aku. Beliau berkata: Aku akan menyampaikan suatu hal kepadamu, dan aku harap
kamu tidak perlu tergesa-gesa mengambil keputusan sebelum kamu meminta
pertimbangan kedua orang tuamu. Aisyah berkata: Padahal beliau telah mengetahui
bahwa kedua orang tuaku tidak akan memerintahkanku untuk berpisah dengannya.
Aisyah berkata lagi: Kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla
telah berfirman: Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu: Jika kamu sekalian
mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan
kepadamu mut`ah (pemberian yang diberikan kepada perempuan yang telah
diceraikan menurut kesanggupan suami) dan aku ceraikan kamu dengan cara yang
baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keredaan) Allah dan Rasul-Nya serta
(kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa
yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar. Aisyah berkata: Lalu aku
berkata: Jadi tentang soal inikah aku disuruh untuk meminta pertimbangan kedua
orang tuaku? Sesungguhnya aku menghendaki Allah dan Rasul-Nya serta kesenangan
akhirat. Ternyata istri-istri Rasulullah (ﷺ)
yang lain juga mengikuti apa yang aku lakukan itu. (Shahih Muslim No.2696)