Kamis, 31 Desember 2020

Ummahat Al-Mukminin ( أُمَّهَاتُ الْمُؤْمِنِيْنَ ) IBUNDA ORANG-ORANG BERIMAN (‘AISYAH binti Abū Bakr 6)

HIRUK PIKUK dalam KELUARGA NABI

 


Selama pernikahan ‘Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) dan Nabi pulalah ummat Muslim bersiap memperluas pengaruh dengan cepat. Mekkah pada akhirnya ditaklukkan oleh pasukan Muslim, dan persiapan-persiapan mulai dilakukan pertama kali untuk begitu banyaknya pertempuran. Keberhasilan berperang melawan Romawi dan Persia setelah surat-surat yang dilayangkan Nabi yang mengundang Heraklius dan Kisra untuk menerima Islam dan beribadah hanya kepada Allah ditolak dengan cara yang merendahkan.


Ekspansi luarbiasa ini – sebuah gagasan yang terlihat seperti sebuah mimpi gila saat kematian Khadijah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) mulai digembargemborkan. Pada tahun 6 H, dengan perjanjian Hudaibiah, dengan kebijaksanaan dimana perdamaian antara kaum Quraisy dan ummat Muslim dideklarasikan untuk sepuluh tahun ke depan, dan hak ummat Muslim untuk memasuki kota Mekkah dan melakukan umrah tidak dilarang lagi dan disetujui oleh orang-orang Quraisy.[1]


Meski ummat Muslim harus menunggu satu tahun sebelum mereka dapat melaksanakan umrah, tahun itu tidak lama terlewati. Dalam interval itu kaum Yahudi Khaybar, sebagaimana kaum Yahudi lain yang mengelilingi Madinah, berusaha menghancurkan masyarakat Muslim dengan cara merusak perjanjian damai mereka dengan masyarakat Muslim dan mensponsori para penyembah berhala. Mereka akhirnya diperangi dan berhasil ditaklukkan.


Setelah Yahudi Khaybar ini berhasil ditaklukkan, seorang perempuan yahudi berusaha meracuni Nabi dengan cara menyajikan daging beracun untuk Nabi, dimana makanan ini sendiri memberitahukan kepada Nabi tentang keberacunannya sehingga Nabi hanya mencicipinya sedikit. Namun demikian, seorang sahabat telah memakan daging itu yang mengakibatkannya meninggal. Rasulullah sendiri mengampuni perempuan yahudi itu dan membebaskannya.


Yahudi Khaybar diizinkan tinggal di tanah yang disediakan untuk mereka dengan syarat wajib membayar jizyah kepada masyarakat Muslim satu tahun sekali. Sebagai hasilnya, beberapa orang Muslim mulai tumbuh lebih sejahtera daripada sebelumnya.


Memang pada suatu kesempatan, istri-istri nabi, dipimpin oleh ‘Aisyah dan Hafshah, pernah meminta pada Nabi sejumlah uang yang tak dimilikinya. Nabi memang tak pernah tidur pada malam harinya dengan memiliki uang. Nabi dipusingkan dengan keadaan ini bukan karena dia tak punya uang untuk diberikan, melainkan karena nafsu yang mereka perlihatkan itu.


Saat itu, Abū Bakr datang bersama dengan ‘Umar ibn Khatab dan mereka menemukan Rasulullah sedang duduk dikelilingi istri-istrinya yang semuanya diam. Abū Bakr berkata pada dirinya sendiri,


”Demi Allah, aku akan mengucapkan sesuatu yang akan membuat Rasulullah gembira.” 


Maka dia berkata,


“Ya Rasulullah, jika aku melihat putri Kahrija memintaku uang, maka aku akan mencekiknya!”


Rasulullah tersenyum dan berkata,


“Mereka yang berkeliling di sekitarku ini memintaku uang.”


Mendengar itu maka Abū Bakr menyeret ‘Aisyah sementara ‘Umar menyeret Hafshah. Keduanya berseru,


“Apakah kalian meminta Rasulullah sesuatu yang tidak dimilikinya?”

Kedua orang perempuan itu berkata,


“Demi Allah, kami tidak akan pernah meminta Rasulullah sesuatu yang tidak dimilikinya!”


Ini bukanlah satu-satunya masalah perkawinan yang dialami Nabi saat itu. Ada semacam persaingan hebat antara beberapa istri Nabi dan Hafshah sendiri pernah bercerita kepada ‘Aisyah sesuatu dimana Nabi mengatakan pada Hafshah agar tidak mengungkapkannya karena merupakan sesuatu yang akan meningkatkan friksi di antara istri-istri Nabi. Beberapa sumber mengatakan bahwa Nabi berkata padanya bahwa Abū Bakr dan ‘Umar akan menjadi pemimpin setelah Nabi.


Dalam beberapa kasus, Nabi pernah mengambil jarak dengan istrinya untuk beberapa bulan. Ini menyebabkan beberapa sahabat mulai berpikir bahwa Nabi akan menceraikan mereka atau bahkan sudah melakukannya.


Diriwayatkan dari ‘Umar ibn Khāttab (رضي الله عنه) bahwa ia pergi menjenguk Nabi yang berdiam sendirian dalam sebuah kamar kecil di atas loteng untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. Sebelumnya dia menemui dulu putrinya, Hafshah yang sedang menangis, dan menanyakan padanya apakah Nabi telah menceraikan istri-istrinya.


“Aku tidak tahu,” jawab Hafshah sambil tersedu-sedu.


Lalu ‘Umar masuk dan meminta izin menemui Nabi. Setelah dia mendapatkan izin, maka naiklah ‘Umar melalui tangga kayu yang biasa digunakan Rasulullah untuk naik turun menuju sebuah kamar yang berukuran kecil.


“Aku lalu segera masuk menemui Rasulullah yang sedang berbaring di atas sebuah tikar. Aku duduk di dekatnya lalu beliau menurunkan kain sarungnya dan tidak ada sesuatu lain yang menutupi beliau selain kain itu. Terlihatlah tikar telah meninggalkan bekas di tubuh beliau. Kemudian aku melayangkan pandangan ke sekitar kamar beliau. Tiba-tiba aku melihat segenggam gandum kira-kira seberat satu sha‘ dan daun penyamak kulit di salah satu sudut kamar serta sehelai kulit binatang yang belum sempurna disamak. Seketika kedua mataku meneteskan air mata tanpa dapat kutahan.”


‘Umar bercerita. “Rasulullah bertanya: ‘Apakah yang membuatmu menangis, wahai putra Khathab?’ Aku menjawab: ‘Wahai Rasulullah, bagaimana aku tidak menangis, tikar itu telah membekas di pinggangmu dan di tempat ini aku tidak melihat yang lain dari apa yang telah aku lihat. Sementara Kaisar (raja Romawi) dan Kisra (raja Persia) bergelimang buah-buahan dan sungai-sungai sedangkan engkau, utusan Allah dan hamba pilihan-Nya hanya berada dalam sebuah kamar pengasingan seperti ini.’ Rasulullah lalu bersabda: ‘Wahai putra Khathab, apakah kamu tidak rela, jika akhirat menjadi bagian kita dan dunia menjadi bagian mereka?’ Aku menjawab: ‘Tentu saja aku rela.’”


‘Umar berkata: “Ketika aku pertama kali masuk, aku melihat kemarahan di wajah beliau. Lalu aku tanyakan kepada beliau: ‘Wahai Rasulullah, apakah yang menyusahkanmu dari urusan istri-istrimu? Jika engkau ceraikan mereka, maka sesungguhnya Allah dan seluruh malaikat-Nya akan tetap bersama engkau begitu juga Jibril, Mikail, aku dan Abū Bakr serta segenap orang-orang mukmin pun akan tetap bersamamu.’ Sambil mengucapkan kata-kata itu aku selalu memuji Allah dan berharap semoga Allah membenarkan ucapan yang aku lontarkan tadi. Kemudian turunlah ayat takhyir (memberikan pilihan) berikut ini:”


إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا وَإِنْ تَظَاهَرَا عَلَيْهِ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ مَوْلاهُ وَجِبْرِيلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمَلائِكَةُ بَعْدَ ذَلِكَ ظَهِيرٌ

عَسَى رَبُّهُ إِنْ طَلَّقَكُنَّ أَنْ يُبْدِلَهُ أَزْوَاجًا خَيْرًا مِنْكُنَّ مُسْلِمَاتٍ مُؤْمِنَاتٍ قَانِتَاتٍ تَائِبَاتٍ عَابِدَاتٍ سَائِحَاتٍ ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارًا

 

Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula. Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadah, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.

(Quran S. At-Tahriim 66:4-5)[2]


Nabi Muhammad tak pernah menceraikan istri-istrinya, dan seperti yang kemudian kita sadari bagaimana mereka hidup, semoga Allah meridlai mereka, sangat jelas bahwa mereka memiliki kualitas manusia seperti yang digambarkan dalam ayat terakhir di atas. Barangkali ayat ini diturunkan untuk mengingatkan mereka, sebuah peringatan bahwa mereka akan dikenang sepanjang hidup mereka dimana kebanyakan mereka dapat hidup jauh lebih lama setelah kematian Nabi .


Kembali kepada kunjungan Sayyidina ‘Umar kepada Nabi mengenai perpisahan Nabi dengan istri-istrinya selama sebulan, ‘Umar bertanya,


“Wahai Rasulullah, apakah engkau telah menceraikan mereka?” Maka Nabi menjawab,


“Tidak.”


Maka setelah berbicara beberapa lama dan bagaimana di Mekkah laki-laki cenderung mendominasi kaum perempuan, sementara di Madinah kaum perempuan yang cenderung mendominasi laki-laki. Itulah apa yang telah dipelajari kaum perempuan Mekkah setelah mereka melakukan hijrah – ‘Umar lalu turun dan berdiri di pintu masjid dan meninggikan suaranya.


“Rasulullah tidak menceraikan istri-istrinya."


Setelah satu bulan, Nabi Muhammad untuk pertama kali masuk mengunjungi ‘Aisyah di kamarnya.


‘Aisyah begitu senang melihat Nabi, namun menjadi lebih serius saat Nabi menyampaikan bahwa beberapa ayat Al-Qur’an telah diwahyukan kepadanya dan meminta Nabi memberikan dua pilihan kepada ‘Aisyah.


"Jangan membuat keputusan yang terburu-buru,” katanya, “dan tanyakan dulu kepada kedua orangtuamu.”


Nabi kemudian membacakan ayat-ayat ini:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلا

وَإِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ الآخِرَةَ فَإِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ مِنْكُنَّ أَجْرًا عَظِيمًا

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridlaan) Allah dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar.

(Quran S. Al-Ahzaab; 33:28-29)


"Jadi tentang soal inikah aku disuruh untuk meminta pertimbangan kedua orang tuaku?" jawab ‘Aisyah. "Sesungguhnya aku menghendaki Allah dan Rasul-Nya serta kesenangan akhirat."


Dan jawaban ‘Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) ini diikuti juga oleh istri-istri nabi yang lain.[3]


‘Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) terbukti dengan kata-katanya itu baik ketika Nabi masih hidup, pun ketika Rasulullah telah tiada.


Suatu ketika, saat kaum Muslim diberi kekayaan yang besar, ‘Aisyah juga mendapatkan seratus ribu dirham. ‘Aisyah dalam keadaan berpuasa ketika dia menerima uang itu lalu memberikan uang itu kepada orang miskin dan membutuhkan, padahal di rumahnya dia tak memiliki harta benda. Sesaat setelah itu, pembantunya berkata padanya,


“Tidak dapatkah kau mengambil uang sekedar seharga daging untuk buka puasamu?”


“Jika saja aku berpikir demikian,” jawab ‘Aisyah, “maka aku tak akan melakukannya!” (Maksudnya tak akan jadi bersedekah - pent)




Klik Untuk Lanjutkan Membaca :

 

Pernikahan Khadijah Dengan Muhammad

Permulaan Turunnya Wahyu Kepada Muhammad

Penolakan Dan Ancaman Kaum Quraisy

Tahun Dukacita (عام الحزن)

Peristiwa Thaif

Saudah Binti Zam'ah

Peristiwa Isra Mi'raj

Permulaan Hijrah Ke Yatsrib

Pernikahan ‘Aisyah Dengan Nabi 

Peran ‘Aisyah Sebagai Perempuan Yang Paling Banyak Meriwayatkan Hadits

Peran ‘Aisyah Dan Istri-Istri Nabi Dalam Perang

الإفْكِ Berita Bohong Yang Menimpa ‘Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ)

Hukuman yang Ditimpakan kepada Para Pembawa Berita Bohong 

HIRUK PIKUK dalam KELUARGA NABI ﷺ 

 


[1] Hadits riwayat Sahal ibn Hunaif (رضي الله ﻋﻧﮫ):
Dari Abu Wail (
رضي الله ﻋﻧﮫ) ia berkata: Pada perang Shiffin, Sahal ibn Hunaif berdiri dan berkata: Wahai manusia! Tuduhlah diri kamu sekalian, kita telah bersama Rasulullah () pada hari perjanjian Hudaibiah. Seandainya kita memilih berperang, niscaya kita akan berperang. Peristiwa itu terjadi pada waktu perjanjian damai antara Rasulullah () dengan kaum musyrikin. Lalu datanglah ‘Umar ibn Khathab menemui Rasulullah () dan bertanya: Wahai Rasulullah, bukankah kita ini di pihak yang benar dan mereka di pihak yang batil? Rasulullah () menjawab: Benar. Ia bertanya lagi: Bukankah prajurit-prajurit kita yang terbunuh berada di surga dan prajurit-prajurit mereka yang terbunuh berada di neraka? Rasulullah () kembali menjawab: Benar. Ia bertanya lagi: Kalau begitu, mengapa kita memberikan kehinaan bagi agama kita lalu kembali pulang padahal Allah belum memutuskan siapa yang menang antara kita dan mereka? Rasulullah () bersabda: Wahai Ibnu Khathab! Sesungguhnya aku ini adalah utusan Allah. Percayalah, Allah tidak akan menyia-nyiakan aku selamanya. Lalu ‘Umar bertolak kembali dalam keadaan tidak sabar dan emosi menemui Abū Bakr dan berkata: Wahai Abū Bakr! Bukankah kita ini di pihak yang benar dan mereka itu di pihak yang batil? Abū Bakr menjawab: Benar. ‘Umar bertanya: Bukankah prajurit-prajurit kita yang terbunuh akan masuk surga dan prajurit-prajurit mereka yang terbunuh akan masuk neraka? Abū Bakr menjawab: Benar. ‘Umar bertanya lagi: Kalau demikian, mengapa kita harus memberikan kehinaan kepada agama kita dan kembali pulang (Madinah) padahal Allah belum memutuskan siapa yang menang antara kita dan mereka. Abū Bakr menjawab: Wahai Ibnu Khathab! Sesungguhnya beliau itu adalah utusan Allah. Percayalah, Allah selamanya tidak akan menyia-nyiakan beliau. Selanjutnya turunlah ayat Alquran atas Rasulullah () membawa berita kemenangan lalu beliau mengutus seseorang menemui ‘Umar untuk membacakan ayat itu kepadanya. ‘Umar bertanya: Wahai Rasulullah, apakah ini tanda kemenangan? Beliau menjawab: Ya. Kemudian legalah hati ‘Umar dan ia pun segera berlalu. (Shahih Muslim No.3338)

[2] Hadits riwayat Umar bin Khathab (رضي الله ﻋﻧﮫ):
Ketika Nabi (
) tidak menggauli istri-istrinya, beliau berkata: Aku memasuki mesjid, lalu aku melihat orang-orang memukulkan tanah dengan batu-batu kerikil sambil berkata: Rasulullah () telah menceraikan istri-istrinya. Hal itu terjadi sebelum para istri nabi diperintahkan memakai hijab. Umar berkata: Aku berkata: Aku harus mengetahui kejadian sebenarnya hari ini! Maka aku mendatangi Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) dan bertanya: Wahai putri Abu Bakar, sudah puaskah kamu menyakiti Rasulullah ()? Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) menjawab: Apa urusanmu denganku, wahai putra Khathab! Nasihatilah putrimu sendiri! Maka setelah itu aku langsung menemui Hafshah binti Umar dan aku katakan kepadanya: Wahai Hafshah, sudah puaskah kamu menyakiti Rasulullah ()? Demi Allah, sesungguhnya kamu tahu bahwa Rasulullah () tidak menyukaimu. Seandainya bukan karena aku, niscaya Rasulullah () sudah menceraikanmu. Maka menangislah Hafshah sekuat-kuatnya. Aku bertanya: Di manakah Rasulullah () sekarang berada? Ia menjawab: Di tempatnya di kamar atas. Aku segera masuk, namun ternyata di sana telah berada Rabah, pelayan Rasulullah () yang sedang duduk di ambang pintu kamar atas sambil menggantungkan kedua kakinya pada tangga kayu yang digunakan Rasulullah untuk naik-turun. Lalu aku berseru memanggil: Wahai Rabah, mintakan izin untukku menemui Rasulullah ()! Kemudian Rabah memandang ke arah kamar Rasulullah () lalu memandangku tanpa berkata apa-apa. Aku berkata lagi: Wahai Rabah, mintakan izin untukku menemui Rasulullah ()! Sekali lagi ia hanya memandang ke arah kamar Rasulullah kemudian ke arahku tanpa berkata apa-apa. Akhirnya aku mengangkat suara dan berseru: Wahai Rabah, mintakan aku izin untuk menemui Rasulullah! Aku mengira Rasulullah menyangka aku datang demi kepentingan Hafshah. Demi Allah, kalau beliau menyuruhku untuk memukul lehernya maka segera akan aku laksanakan perintah beliau itu. Kemudian aku keraskan lagi suaraku, dan akhirnya Rabah memberikan isyarat kepadaku supaya menaiki tangga. Aku lalu segera masuk menemui Rasulullah () yang sedang berbaring di atas sebuah tikar. Aku duduk di dekatnya lalu beliau menurunkan kain sarungnya dan tidak ada sesuatu lain yang menutupi beliau selain kain itu. Terlihatlah tikar telah meninggalkan bekas di tubuh beliau. Kemudian aku melayangkan pandangan ke sekitar kamar beliau. Tiba-tiba aku melihat segenggam gandum kira-kira seberat satu sha‘ dan daun penyamak kulit di salah satu sudut kamar serta sehelai kulit binatang yang belum sempurna disamak. Seketika kedua mataku meneteskan air mata tanpa dapat kutahan. Rasulullah bertanya: Apakah yang membuatmu menangis, wahai putra Khathab? Aku menjawab: Wahai Rasulullah, bagaimana aku tidak menangis, tikar itu telah membekas di pinggangmu dan tempat ini aku tidak melihat yang lain dari apa yang telah aku lihat. Sementara kaisar (raja Romawi) dan kisra (raja Persia) bergelimang buah-buahan dan sungai-sungai sedangkan engkau adalah utusan Allah dan hamba pilihan-Nya hanya berada dalam sebuah kamar pengasingan seperti ini. Rasulullah () lalu bersabda: Wahai putra Khathab, apakah kamu tidak rela, jika akhirat menjadi bagian kita dan dunia menjadi bagian mereka? Aku menjawab: Tentu saja aku rela. Umar berkata: Ketika aku pertama kali masuk, aku melihat kemarahan di wajah beliau. Lalu aku tanyakan kepada beliau: Wahai Rasulullah, apakah yang menyusahkanmu dari urusan istri-istrimu? Jika engkau ceraikan mereka, maka sesungguhnya Allah dan seluruh malaikat-Nya akan tetap bersama engkau begitu juga Jibril, Mikail, aku dan Abu Bakar serta segenap orang-orang mukmin pun juga tetap bersamamu. Sambil mengucapkan kata-kata itu aku selalu memuji Allah dan berharap semoga Allah membenarkan ucapan yang aku lontarkan tadi. Kemudian turunlah ayat takhyir (memberikan pilihan) berikut ini: “Jika Nabi () menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu. Jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik, dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya (pula)”. Pada saat itu Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) dan Hafshah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) telah bersekongkol terhadap istri-istri Nabi () yang lainnya. Aku katakan kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah, apakah engkau telah menceraikan mereka? Beliau menjawab: Tidak. Kemudian aku jelaskan kepada beliau, bahwa sewaktu aku memasuki mesjid, aku melihat kaum muslimin memukul-mukulkan batu kerikil ke tanah sambil berkata bahwa Rasulullah () telah menceraikan istri-istrinya. Apakah perlu aku turun untuk memberitahukan mereka bahwa sebenarnya engkau tidak menceraikan istri-istrimu. Beliau bersabda: Boleh, kalau memang kamu ingin. Aku masih tetap berbicara dengan beliau sampai akhirnya aku melihat beliau benar-benar reda dari kemarahannya. Bahkan beliau sudah dapat tersenyum dan tertawa. Dan Rasulullah () adalah orang yang paling indah gigi serinya. Kemudian Rasulullah turun dan aku pun ikut turun. Aku turun terlebih dahulu lalu aku pegang erat-erat batang pohon yang digunakan tangga tersebut dan Rasulullah pun turun seakan-akan beliau jalan di atas tanah dan tidak memegang apapun dengan tangannya. Aku berkata kepada beliau: Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau berada di dalam kamar itu selama dua puluh sembilan hari. Beliau bersabda: Sesungguhnya sebulan itu ada yang dua puluh sembilan hari. Lalu aku berdiri di pintu mesjid sambil berseru dengan suara sekeras-kerasnya: Rasulullah () tidak menceraikan istri-istrinya. Kemudian turunlah ayat: Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Dan akulah orang yang ingin mengetahui perkara itu. Maka Allah Taala lalu menurunkan ayat takhyir (Shahih Muslim No.2704)

[3] Hadits riwayat Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ), ia berkata:
Ketika Rasulullah (
) diperintahkan memberikan pilihan kepada istri-istrinya, beliau memulai dari aku. Beliau berkata: Aku akan menyampaikan suatu hal kepadamu, dan aku harap kamu tidak perlu tergesa-gesa mengambil keputusan sebelum kamu meminta pertimbangan kedua orang tuamu. Aisyah berkata: Padahal beliau telah mengetahui bahwa kedua orang tuaku tidak akan memerintahkanku untuk berpisah dengannya. Aisyah berkata lagi: Kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah berfirman: Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu: Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut`ah (pemberian yang diberikan kepada perempuan yang telah diceraikan menurut kesanggupan suami) dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keredaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar. Aisyah berkata: Lalu aku berkata: Jadi tentang soal inikah aku disuruh untuk meminta pertimbangan kedua orang tuaku? Sesungguhnya aku menghendaki Allah dan Rasul-Nya serta kesenangan akhirat. Ternyata istri-istri Rasulullah () yang lain juga mengikuti apa yang aku lakukan itu. (Shahih Muslim No.2696)

Saran Bacaan untuk Anda

Adab Murid dan Guru

Oleh: سعيد حوى   Murid memiliki adab dan tugas (wazhifah) lahiriyah yang banyak, di antara abab dan tugas seorang murid adalah tidak b...

Postingan Terpopuler