Oleh: Prof. Dr. K.H. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.A.Ed., M.Phil.
Ketika
saya berkunjung ke perpustakaan Islamic Research Academy di Leicester Inggris,
photo copy disitu mendadak macet dan tidak ada yang nampak bisa memperbaiki.
Tiba-tiba seorang yang berjanggut panjang dan berpakaian salwar gamis mencoba
mengotak-atik mesin itu. Saya yakin dari logat Inggrisnya dia orang Pakistan
atau India. Banyak yang antri photo copy waktu itu. Semua setengah kesal dan
tidak sabar. Dan akhirnya dengan mudah mesin itu berfungsi kembali.
Kisahnya
sederhana dan tidak penting. Yang penting apa yang dikatakannya kemudian.
Sambil tersenyum dia berkata: “You see! wisdom always come from the East”. Lho!
apa hubungannya? Kami diam sejenak, tapi kemudian tertawa renyah. Rasanya kami
sedang memperolok-olok teknologi Barat. Teknologi itu kecil! Tidak ada
apa-apanya dibanding wisdom dari Timur. Tapi, itu hanya olok-olok.
Makna
Timur atau “orient” dapat dipahami hanya dalam konteks Barat “occident”. Ini
bukan klasifikasi geografis dan nama dua mata angin. Tidak jelas siapa yang
memulai mengolok-olok “kamu orang Timur! kamu orang Barat!”. Yang pasti
orientalisme mendahului occidentalisme. Kini siapa yang disebut “orang Timur”
dan “orang Barat” sudah jelas. Timur, kata Edward Said, adalah masyarakat dan
bahkan spirit yang menakutkan Barat. (Orientalism, hal. 1-2).
Bahasa
Edward nampak agak kasar, tapi gambaran yang tepat untuk fenomena perseteruan.
Timur dan Barat bahkan seperti dua kutub yang mustahil bertemu. Saya lalu
teringat dengan Iqbal. Ia memberanikan diri menghubungkan kutub itu dengan
pesan-pesannya. Dia sadar tidak banyak yang berani menyampaikan pesan kepada
Barat. Ia menulis:
“Saya
tahu di kegelapan Timur, tidak ada cahaya tangan Musa atas Fir’aun”.
Pesan
Iqbal untuk Barat dikompilasi dalam bentuk puisi, tahun 1923, berjudul
Payam-i-mashriq (Pesan dari Timur). Pesan ini disampaikan sebagai jawaban atas
ratapan Goethe seabad sebelumnya. Goethe (1749-1832) menulis buku
West-Oestlicher Divan. Ia meratapi mengapa pandangan manusia Barat menjadi
sangat materialistis. Ia berharap Timur dapat membawa misi yang menjanjikan
nilai-nilai spiritual. Iqbal menjawab, moralitas dan agama itu penting bagi
peradaban bung! Hidup ini tidak akan pernah meningkat tanpa memahami makna
spiritualitas.
Ratapan
Goethe dan pesan Iqbal masih tetap relevan hingga kini. Nyatanya para pendeta
Kristen di Barat masih terus menyesali “spirituality has gone to the East”.
Barat memang materialistis, individualistis dan mematikan rasa belas kasih dan
persaudaraan antar manusia, kata Iqbal. Maka ia kemudian berpesan:
“Wahai
penghuni negeri-negeri Barat, alam milik Tuhan ini bukan toko.
Yang
kau anggap barang berharga akan terbukti bernilai rendah.
Peradaban
anda akan bunuh diri dengan pisau anda sendiri.
Sarang
yang dibangun di atas dahan yang rapuh tidak bertahan lama.”
Bait
terakhir itu ia ulangi lagi dalam Bang-i-Dara “Peradaban yang hanya berdasarkan
kapitalisme tidak akan berumur panjang”. Pasalnya tentu, karena kekurangan asas
moralnya dan lack of wisdom.
Sejalan
dengan kegelisahan Goethe, pesan Iqbal dialihkan ke Karl Marx (1818-1883).
Iqbal kagum pada gagasan ekonomi Marx. Karena terlalu kagum, ia menyebut Marx
sebagai “nabi” tanpa wahyu”. Orang seperti Marx boleh jadi “hatinya beriman
tapi otaknya kafir”. Karena itu, pesan Iqbal, baiknya Marx kembali kepada agama
dan nilai-nilai spiritual. Pesan itu secara puitis dituangkan dalam Javid Namah
“Orang Barat kehilangan visi tentang surga. Mereka berburu mencari spirit murni
dari perut.”
Iqbal
pun berpesan kepada Nietzsche (1884-1900). Nietzsche adalah pemikir cengeng. Ia
merintih bagai orang tua dan menangis cengeng seperti anak kecil. Ketika
pikirannya buntu ia menangis “where is man”. Siapa yang bisa saya “orangkan”.
“Aku perlu guru (master)”, katanya. Master yang bisa membimbing jiwa. Sayangnya
teriakannya tidak bisa memanggil orang semerdu azan, dan tidak mampu mengusik
telinga sekuat musik rock. Tangisan Nietzsche adalah nyanyian spiritual yang
tidak lagi digubris di Barat. Mencari guru spiritual di Barat hanyalah utopia.
Anehnya,
dalam kesunyian spiritualnya dan kebuntuan intelektualnya Nietzsche menawarkan
gagasan Superman. Iqbal pun segera tahu, gagasan itu pinjaman dari literatur
Islam atau Timur. Sayangnya baju Superman itu tidak berlabel S (baca:
Spiritualisme), tapi M (baca: Materialisme). Superman “ciptaannya” hanyalah
makhluk biologis yang tanpa moral dan spiritual.
Nietzsche
hanya membuang tenaga dan waktu saja, kata Iqbal. Gagasan Superman, tanpa
melibatkan realitas khudi (Tuhan) adalah omong kosong. Pancaran sinar matanya
hanya dapat menembus dimensi fisik. Konsepnya hanya setingkat kemanusiaan
(nasut).
Masih
ada dua tingkat lagi yang belum dilalui: realisasi diri dalam konteks sosial
dan kesadaran ketuhanan (lahut). Iqbal pun gregetan: “Kalau orang Barat itu
(maksudnya Nietzsche) masih hidup hari ini, tentu aku akan menjelaskan tingkat
Kesadaran Ketuhanan ini”. Mestinya Superman diganti dengan Insan Kamil,
kombinasi dari kesadaran ketuhanan (lahut) dan kemanusiaan (nasut).
Masih
soal manusia, Iqbal juga berpesan kepada kaum Feminis. Gerakan wanita modern
ini, kata Iqbal, memisahkan wanita dari tanggungjawab biologisnya. Peranan
tertinggi wanita itu adalah ibu bangsa.
Tapi
wanita modern terlanjut menabur benih individualisme. Kodrat kewanitaan
dikorbankan untuk mengisi perut. Ini sama saja dengan bunuh diri, lanjutnya.
Hasilnya wanita Barat hanya memiliki kebebasan dan sanjungan. Sementara wanita
Timur juga memiliki kebebasan tapi dengan segala kehormatan dan penghargaan
(with respect and honor). “Barat tidak memahami wisdom dibalik kerudung wanita
Timur”, katanya.
Jadi,
benarkah wisdom selalu datang dari Timur?
Rabindranath
Tagore peraih hadiah Nobel sastra dari India membenarkan. Kata bijak “Cintailah
musuhmu” diucapkan Nabi dari Timur. ”Taklukkan kemarahan dengan kesabaran,
kejahatan dengan kebaikan” juga wisdom Nabi yang lain dari Timur. Tapi
kata-kata “Kenali Musuhmu”, vini, vidi, vici, we are the super power dan
sebagainya keluar dari mulut orang Barat.
Tapi
Tagore tidak selugas Iqbal. Ia sering menyampaikan pesan dari Timur ke Barat,
Tapi ia seperti ragu apakah Barat akan mendengar pesan-pesannya. Di Jerman ia
pernah menulis: “Namaku matahari. Hingga kini aku hanya menyinari Timur. Kini
sang matahari beranjak ke Barat. Untuk melihat apakah ia dapat menyinari
negeri-negeri itu, sehingga mereka mengalihkan pandangan kepadanya, Yang tidak
mempedulikan Timur atau Barat.
Tagore
tidak punya rasa like dan dislike kepada Barat, ia malah tidak peduli Timur
atau Barat. Orang Barat yang bijak mestinya juga begitu. Orang Timur yang bijak
malah menegur Barat, seperti tangan Musa menegur Fir’aun. Hanya orang Timur
yang “tolol” dan tidak tahu Timur akan membenci Timur. Persis seperti kata Gai
Eaton, dalam King of Castle: The core of all stupidity is lack of self
knowledge.
Goethe
dan Tagore sama bijaknya. Tagore tidak peduli Timur atau Barat, Goethe
menganggap Timur dan Barat sama-sama milik Tuhan. Ia menulis:
Gottes
ist der Orient,
Gottes
ist der Okzident.
Tuhan
adalah pemilik Timur. Tuhan adalah pemilik Barat. Luar biasa! Orang mungkin
terperangah dengan diktum Goethe ini. Tapi A. Dasgupta penulis buku Goethe and
Tagore, segera tahu ternyata Goethe diam-diam memplagiat ayat al-Qur’an, wa
lillaahi al-mashriq wa al-magrib. Hanya saja pada bait selanjutnya Goethe
menambahi “The Northland and the Sotherrn land, Rest in the quiet of His hand”.
Masalahnya, Barat itu milik Tuhan tapi Barat sendiri tidak memiliki Tuhan.
Jadi,
benarkah wisdom selalu datang dari Timur?
Benar!,
Kalau setuju bahwa Timur (syarq) adalah tempat terbit dan Barat adalah tempat
tenggelam (gharb). Faktanya semua agama terbit dari Timur, tapi ketika di
Baratkan (seperti Kristen) ia justru tenggelam. Mungkin pengakuan Hakim Agung
Amerika Serikat tahun 70an William O. Douglas seperti membenarkan kata orang
berjanggut di Leicester itu “One great contribution of the East to the West is
charity or love, as epitomized by Muhammad….”. itulah hikmah atau wisdom itu.