PERMULAAN HIJRAH KE YATSRIB
Dalam musim haji di Mekkah tahun
berikutnya, duabelas orang dari Yatsrib, sebuah kota kecil sekitar duaratus mil
sebelah utara kota Mekkah, diam-diam menyatakan ikrar setia kepada Nabi ﷺ, bersumpah untuk tidak menyembah Tuhan
lain kecuali Allah, tidak mencuri, tidak berkata dusta, tidak melakukan
perzinahan, tidak membunuh anak-anak mereka, tidak mengabaikan perintah Nabi ﷺ. Mereka kemudian kembali ke Yatsrib
ditemani seorang Muslim bernama Mus'ab ibn Umayr, yang mengajari mereka apa
yang pernah dipelajarinya dari Nabi ﷺ.
Hasilnya, jumlah orang Muslim mulai
meningkat di Madinah, dan ketika tiba saatnya musim haji lagi, kali ini
sebanyak tujuhpuluh orang dari Yatsrib – tiga di antaranya adalah perempuan:
Umm Sulaym, Nsayba binti Ka'b dan Asma binti Amri – berikrar setia di Mekkah
kepada Nabi ﷺ.
Kali ini mereka juga bersumpah untuk membela dan melindungi Nabi ﷺ, bahkan kalau perlu sampai mati atau
sampai titik darah penghabisan. Setelah kejadian ini, Nabi ﷺ memberikan izin kepada para pengikutnya
untuk melakukan hijrah ke Yatsrib. Dan secara perlahan namun pasti, secara
berduaan atau lebih kaum Muslim berangsur-angsur mulai meninggalkan kota
Mekkah.
Tiga orang pemimpin kaum Quraisy mulai
menyadari apa yang sedang terjadi, dan memutuskan untuk membunuh Nabi sebelum
Nabi mendapatkan kesempatan bergabung dengan para pengikutnya di Yatsrib. Namun
Allah melindungi Nabi, dan di ujung malam menjelang fajar ketika mereka
berencana membunuh Nabi itu, Nabi Muhammad ﷺ bersama Abū Bakr (رضي الله عنه)
menyelinap keluar dari kota Mekkah dan bersembunyi di sebuah gua bernama Thawr[1]
yang berada di selatan Kota Mekkah.
Semua orang tahu apa yang terjadi ketika
orang-orang yang memburu Nabi dan Abū Bakr itu tiba di gua: Mereka menemukan
seekor merpati bersarang di atas sebuah pohon yang menutupi mulut gua,
melintasi tempat dimana seekor laba-laba memintal jejaringnya. “Siapa saja yang memasuki gua itu
mestilah membuat takut merpati itu dan merusak jejaring laba-labanya”, pikir mereka. Begitulah mereka
berpikir dan tidak punya hasrat untuk melihat ke dalam gua itu. Padahal buruan
mereka berada begitu dekat. Jika saja salahsatu dari mereka melihat ke bawah ke
arah kaki, mestilah orang itu
dapat menemukan Nabi ﷺ
dan Abū Bakr(رضي الله عنه) berada di sana. Atas takdir Allah-lah,
Nabi ﷺ
dan Abū Bakr (رضي الله عنه) dapat selamat!
Sampai ketika kaum Quraisy menyerah dan
merasa putus asa untuk melakukan pencarian lagi, Nabi Muhammad ﷺ dan Abū Bakr (رضي الله عنه)
berputar mengitari kota Mekkah dan menuju arah utara.
Hanya seorang pria, seorang ksatria
bernama Suraqa ibn Jusham yang mencurigai keberadaan Muhammad ﷺ dan Abū Bakr (رضي الله عنه)
yang lalu mulai merencanakan pengejaran. Orang ini
tergoda dengan hadiah yang ditawarkan kaum Quraisy bagi siapa saja yang dapat
menangkap dua orang di dalam gua itu.
Serta-merta, ketika Suraqa ibn Jusham berteriak dari jarak yang tidak terlalu
jauh dari dua orang dalam perjalanan itu, kudanya tiba-tiba saja terbenam ke
dalam pasir dan dia sadar jika ia tidak kembali lagi, padang pasir itu bisa
saja menelannya. Dia menyerah dan menghentikan pengejarannya, memohon kepada
Nabi ﷺ
dan Abū Bakr(رضي الله عنه) agar
memaafkannya lalu ia kembali pulang ke kota Mekkah.
Setelah sekian lama berada dalam
perjalanan yang berat, Nabi ﷺ
beserta Abū Bakr (رضي الله عنه) akhirnya tiba di Yatsrib dan disambut
dengan sambutan yang meriah. Waktu untuk mereka di kota Mekkah baru saja
berakhir, dan waktu untuk mereka di Madinah baru saja dimulai – Madinah adalah
nama yang sejak saat itu diberikan untuk kota Yatsrib, Madinah Al-Munawarrah,
yang berarti ‘kota yang diterangi’, kota yang diterangi dengan cahaya Nabi
Muhammad ﷺ
serta keluarga dan sahabat-sahabatnya Radhiyallahum.
Perjalanan Nabi Muhammad ﷺ dan Abū Bakr (رضي الله عنه)
ini biasanya disebut sebagai hijrah, dan inilah tonggak penanggalan Islam[2].
Dan setelah hijrah ini masyarakat muslim pertama tumbuh secara cepat, berkembang
dan berbuah.
Ketika Saudah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ)
mulai menua, Nabi khawatir kalau-kalau istri keduanya ini
merasa kesal karena harus bersaing dengan istri-istrinya yang lain yang lebih
muda. Oleh karenanya Nabi menawarinya untuk bercerai. Saudah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ)
berkata bahwa dia akan memberikan malamnya untuk Aisyah - dimana dia juga sangat mengasihinya - karena dia hanya ingin menjadi istri
Nabi di siang hari[3].
Saudah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) sendiri hidup sampai
masa ‘Umar ibn al-Khāttab. Dia dan Aisyah dikenal sebagai dua orang yang sangat
dekat.
Klik Untuk Lanjutkan Membaca :
Pernikahan Khadijah Dengan Muhammad
Permulaan Turunnya Wahyu Kepada Muhammad
Penolakan Dan Ancaman Kaum Quraisy
Pernikahan ‘Aisyah Dengan Nabi ﷺ
Peran ‘Aisyah Sebagai Perempuan Yang Paling Banyak Meriwayatkan Hadits
Peran ‘Aisyah Dan Istri-Istri Nabi Dalam Perang
الإفْكِ Berita
Bohong Yang Menimpa ‘Aisyah (رضي
الله ﻋﻧﻬﺎ)
Hukuman yang Ditimpakan kepada Para Pembawa Berita Bohong
[1] Jabal Tsur adalah gunung setinggi
458 meter yang berada di sebelah selatan Kota Makkah, sekitar 4 Km di selatan
Masjidil Haram. Bukit Tsur berada di kawasan Kudai. Untuk naik ke puncaknya
diperlukan waktu sekitar satu setengah jam. Di bukit ini terdapat gua,
tingginya sekitar 1,25 meter dengan luas 3,5 meter persegi. Ada dua lubang
masuk di sebelah barat dan timur. Lubang di sebelah barat merupakan pintu masuk
yang digunakan Nabi ﷺ bersembunyi.
[2]
Tatkala Ya’la ibn Umayyah menjadi gubernur di Yaman di zaman Khalifah Abu Bakr,
ia pernah melontarkan gagasan tentang perlunya menetapkan Kalender Islam yang
akan dipakai sebagai patokan penanggalan. Pada
waktu itu, catatan penanggalan yang dipergunakan kaum Muslim belum seragam. Ada
yang memakai tahun gajah (Amul fĩl),
terhitung sejak Raja Abrahah dari Yaman menyerang Ka’bah (yang secara kebetulan
adalah tanggal kelahiran Nabi Muhammad (ﷺ)); ada yang mendasarkan pada
peristiwa-peristiwa paling menonjol dan berarti yang terjadi di zaman mereka.
Misalnya, tahun pertama hijrah Nabi dinamakan tahun al-Izn, karena izin hijrah diberikan tahun itu. Tahun kedua disebut
tahun Amr, karena pada tahun itu
Allah SWT telah memberikan perintah kepada kaum Muslim untuk bertempur melawan
kaum musyrik Makkah.
Akan
tetapi, realisasi tentang penetapan penanggalan yang dipakai oleh umat Islam
barulah terjadi di zaman Khalifah Umar. Menurut keterangan al-Biruni, Khalifah
menerima sepucuk surat dari Abu Musa al-Asy’ari yang menjadi gubernur di
Basyrah (Irak), isinya menyatakan, “Kami telah menerima banyak surat dari Amir
al-Mu’minin, dan kami tidak tahu mana yang harus dilaksanakan. Kami sudah
membaca satu perbuatan yang bertanggal Sya’ban, namun kami tidak tahu Sya’ban
mana yang dimaksudkan: Sya’ban sekarang atau Sya’ban mendatang di tahun depan?”
Surat
Abu Musa rupanya dirasakan oleh Khalifah Umar sebagai sindiran halus tentang
perlunya ditetapkan satu penanggalan (kalender) yang seragam, yang dipergunakan
sebagai tanggal, baik di kalangan pemerintahan maupun untuk keperluan umum.
Untuk
menetapkan momentum apa yang sebaiknya dipergunakan dalam menentukan permulaan
tahun baru Islam itu, Khalifah mengadakan musyawarah dengan semua ulama dan
pembesar-pembesar Muslim. Dalam pertemuan itu ada empat usul yang dikemukakan,
yaitu:
1.
Dihitung
dari kelahiran Nabi Muhammad (ﷺ);
2.
Dihitung
dari wafatnya Rasulullah (ﷺ);
3.
Dihitung
dari hari Rasulullah menerima wahyu pertama di gua Hira yang merupakan awal
tugas risalah kenabian;
4.
Dihitung
mulai dari tanggal dan bulan Rasulullah melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah
(usul yang terakhir ini diajukan oleh Ali ibn Abi Tahlib).
Tetapi
baik kelahiran Nabi, maupun permulaan risalah kenabian tidak diambil sebagai
awal penanggalan Islam, karena tanggal-tanggal tersebut menimbulkan kontroversi
mengenai waktu yang pasti dari kejadian-kejadian itu. Hari wafat Nabi juga
tidak berhasil dijadikan tanggal permulaan kalender, karena dipertautkan dengan
kenang-kenangan menyedihkan pada hari wafatnya. Besar kemungkinan nanti akan
menimbulkan perasaan-perasaan sedih dan sendu dalam kalbu kaum Muslim.
Akhirnya, disetujuilah agar penanggalan Islam dimulai dari hijrah Rasul dari
Makkah ke Madinah. Rasul tiba di Madinah pada hari Senin, 12 Rabi’ al-Awwal
yang bertepatan dengan tanggal 24 September 622 M.
Ketika
para sahabat menjadikan hijrah Nabi sebagai permulaan Kalender Islam, timbul
perdebatan di kalangan mereka. Beberapa di antaranya mengemukakan supaya
kalender itu dimulai dengan Rabi’ al-Awwal. Suhaili meriwayatkan tentang Imam
Malik, yang menyatakan: “Permulaan Kalender Muslim ialah bulan Rabi’ al-Awwal,
karena itu adalah bulan ketika Rasulullah memulai hijrahnya. Akan tetapi, bulan
Muharram kemudian diterima sebagai bulan pertama penanggalan umat Islam, yakni
kalender Hijriyah. Itu adalah pilihan dari ‘Usman ibn Affan.”
Sesungguhnya
Umarlah akhirnya yang menyelesaikan perdebatan itu, dan memutuskan bahwa tahun
baru Islam dihitung mulai dari hijrah Nabi dan para sahabatnya dari Makkah ke
Madinah. Peristiwa yang sangat bersejarah ini terjadi tanggal 12 Rabi’ al-Awwal
hari jum’at bertepatan dengan tanggal 24 Maret 622 M (Hari senin sebelumnya, 8
Rabi’ al-Awwal, Nabi tiba di Quba dan mendirikan mesjid Quba), dan tahun 1
Hijriah diawali dengan tanggal 1 Muharram bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622
M (yang berarti 1 Muharram tahun 1 H telah lewat 82 hari (atau 3 bulan kurang)).
Sedang peristiwa penetapan kalender Islam oleh Umar ini terjadi hari Rabu,
duapuluh hari sebelum berakhirnya Jumad al-Akhir, tahun ketujuhbelas sesudah
Hijrah atau pada tahun keempat dari kekhalifahan(nya). (Almanak Alam Islami,
Pustaka Jaya, Cet. I, Sya’ban 1420/November 2000, Hal. 183-184)
[3] وَعَنْ
عَائِشَةَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا- ( أَنَّ سَوْدَةَ بِنْتَ زَمْعَةَ وَهَبَتْ
يَوْمَهَا لِعَائِشَةَ ، وَكَانَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَقْسِمُ
لِعَائِشَةَ يَوْمَهَا وَيَوْمَ سَوْدَةَ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ
Hadis No.
1088
Dari
'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa saudah Binti Zam'ah pernah memberikan hari
gilirannya kepada 'Aisyah. Maka Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam memberi giliran kepada 'Aisyah pada harinya dan pada hari saudah.
Muttafaq Alaihi. (Bulughul Maram. https://carihadis.com/Bulughul_Maram/=saudah)