Senin, 21 Desember 2020

Ummahat Al-Mukminin ( أُمَّهَاتُ الْمُؤْمِنِيْنَ ) IBUNDA ORANG-ORANG BERIMAN (Saudah binti Zam'ah 3)

PERMULAAN HIJRAH KE YATSRIB


Sementara rasa permusuhan kaum Quraisy terhadap Nabi Muhammad dan kaum Muslimin terus saja meningkat, (dan Aisyah ketika itu masih seorang anak perempuan) saat itu Allah mempersiapkan masyarakat muslim di tempat yang bernama Yatsrib untuk masa yang akan datang.

Dalam musim haji di Mekkah tahun berikutnya, duabelas orang dari Yatsrib, sebuah kota kecil sekitar duaratus mil sebelah utara kota Mekkah, diam-diam menyatakan ikrar setia kepada Nabi , bersumpah untuk tidak menyembah Tuhan lain kecuali Allah, tidak mencuri, tidak berkata dusta, tidak melakukan perzinahan, tidak membunuh anak-anak mereka, tidak mengabaikan perintah Nabi . Mereka kemudian kembali ke Yatsrib ditemani seorang Muslim bernama Mus'ab ibn Umayr, yang mengajari mereka apa yang pernah dipelajarinya dari Nabi .

Hasilnya, jumlah orang Muslim mulai meningkat di Madinah, dan ketika tiba saatnya musim haji lagi, kali ini sebanyak tujuhpuluh orang dari Yatsrib – tiga di antaranya adalah perempuan: Umm Sulaym, Nsayba binti Ka'b dan Asma binti Amri – berikrar setia di Mekkah kepada Nabi . Kali ini mereka juga bersumpah untuk membela dan melindungi Nabi , bahkan kalau perlu sampai mati atau sampai titik darah penghabisan. Setelah kejadian ini, Nabi memberikan izin kepada para pengikutnya untuk melakukan hijrah ke Yatsrib. Dan secara perlahan namun pasti, secara berduaan atau lebih kaum Muslim berangsur-angsur mulai meninggalkan kota Mekkah.

Tiga orang pemimpin kaum Quraisy mulai menyadari apa yang sedang terjadi, dan memutuskan untuk membunuh Nabi sebelum Nabi mendapatkan kesempatan bergabung dengan para pengikutnya di Yatsrib. Namun Allah melindungi Nabi, dan di ujung malam menjelang fajar ketika mereka berencana membunuh Nabi itu, Nabi Muhammad bersama Abū Bakr (رضي الله عنه) menyelinap keluar dari kota Mekkah dan bersembunyi di sebuah gua bernama Thawr[1] yang berada di selatan Kota Mekkah.

Semua orang tahu apa yang terjadi ketika orang-orang yang memburu Nabi dan Abū Bakr itu tiba di gua: Mereka menemukan seekor merpati bersarang di atas sebuah pohon yang menutupi mulut gua, melintasi tempat dimana seekor laba-laba memintal jejaringnya. Siapa saja yang memasuki gua itu mestilah membuat takut merpati itu dan merusak jejaring laba-labanya, pikir mereka. Begitulah mereka berpikir dan tidak punya hasrat untuk melihat ke dalam gua itu. Padahal buruan mereka berada begitu dekat. Jika saja salahsatu dari mereka melihat ke bawah ke arah kaki, mestilah orang itu dapat menemukan Nabi dan Abū Bakr(رضي الله عنه) berada di sana. Atas takdir Allah-lah, Nabi dan Abū Bakr (رضي الله عنه) dapat selamat!

Sampai ketika kaum Quraisy menyerah dan merasa putus asa untuk melakukan pencarian lagi, Nabi Muhammad dan Abū Bakr (رضي الله عنه) berputar mengitari kota Mekkah dan menuju arah utara.

Hanya seorang pria, seorang ksatria bernama Suraqa ibn Jusham yang mencurigai keberadaan Muhammad dan Abū Bakr (رضي الله عنه) yang lalu mulai merencanakan pengejaran. Orang ini tergoda dengan hadiah yang ditawarkan kaum Quraisy bagi siapa saja yang dapat menangkap dua orang di dalam gua itu. Serta-merta, ketika Suraqa ibn Jusham berteriak dari jarak yang tidak terlalu jauh dari dua orang dalam perjalanan itu, kudanya tiba-tiba saja terbenam ke dalam pasir dan dia sadar jika ia tidak kembali lagi, padang pasir itu bisa saja menelannya. Dia menyerah dan menghentikan pengejarannya, memohon kepada Nabi dan Abū Bakr(رضي الله عنه)  agar memaafkannya lalu ia kembali pulang ke kota Mekkah.

Setelah sekian lama berada dalam perjalanan yang berat, Nabi beserta Abū Bakr (رضي الله عنه) akhirnya tiba di Yatsrib dan disambut dengan sambutan yang meriah. Waktu untuk mereka di kota Mekkah baru saja berakhir, dan waktu untuk mereka di Madinah baru saja dimulai – Madinah adalah nama yang sejak saat itu diberikan untuk kota Yatsrib, Madinah Al-Munawarrah, yang berarti ‘kota yang diterangi’, kota yang diterangi dengan cahaya Nabi Muhammad serta keluarga dan sahabat-sahabatnya Radhiyallahum.

Perjalanan Nabi Muhammad dan Abū Bakr (رضي الله عنه) ini biasanya disebut sebagai hijrah, dan inilah tonggak penanggalan Islam[2]. Dan setelah hijrah ini masyarakat muslim pertama tumbuh secara cepat, berkembang dan berbuah.

Ketika Saudah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) mulai menua, Nabi khawatir kalau-kalau istri keduanya ini merasa kesal karena harus bersaing dengan istri-istrinya yang lain yang lebih muda. Oleh karenanya Nabi menawarinya untuk bercerai. Saudah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) berkata bahwa dia akan memberikan malamnya untuk Aisyah - dimana dia juga sangat mengasihinya - karena dia hanya ingin menjadi istri Nabi di siang hari[3]. Saudah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) sendiri hidup sampai masa ‘Umar ibn al-Khāttab. Dia dan Aisyah dikenal sebagai dua orang yang sangat dekat.



Klik Untuk Lanjutkan Membaca :

 

Pernikahan Khadijah Dengan Muhammad

Permulaan Turunnya Wahyu Kepada Muhammad

Penolakan Dan Ancaman Kaum Quraisy

Tahun Dukacita (عام الحزن)

Peristiwa Thaif

Saudah Binti Zam'ah

Peristiwa Isra Mi'raj

Permulaan Hijrah Ke Yatsrib

Pernikahan ‘Aisyah Dengan Nabi 

Peran ‘Aisyah Sebagai Perempuan Yang Paling Banyak Meriwayatkan Hadits

Peran ‘Aisyah Dan Istri-Istri Nabi Dalam Perang

الإفْكِ Berita Bohong Yang Menimpa ‘Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ)

Hukuman yang Ditimpakan kepada Para Pembawa Berita Bohong


[1] Jabal Tsur adalah gunung setinggi 458 meter yang berada di sebelah selatan Kota Makkah, sekitar 4 Km di selatan Masjidil Haram. Bukit Tsur berada di kawasan Kudai. Untuk naik ke puncaknya diperlukan waktu sekitar satu setengah jam. Di bukit ini terdapat gua, tingginya sekitar 1,25 meter dengan luas 3,5 meter persegi. Ada dua lubang masuk di sebelah barat dan timur. Lubang di sebelah barat merupakan pintu masuk yang digunakan Nabi bersembunyi.

 

[2] Tatkala Ya’la ibn Umayyah menjadi gubernur di Yaman di zaman Khalifah Abu Bakr, ia pernah melontarkan gagasan tentang perlunya menetapkan Kalender Islam yang akan dipakai sebagai patokan penanggalan. Pada waktu itu, catatan penanggalan yang dipergunakan kaum Muslim belum seragam. Ada yang memakai tahun gajah (Amul fĩl), terhitung sejak Raja Abrahah dari Yaman menyerang Ka’bah (yang secara kebetulan adalah tanggal kelahiran Nabi Muhammad ()); ada yang mendasarkan pada peristiwa-peristiwa paling menonjol dan berarti yang terjadi di zaman mereka. Misalnya, tahun pertama hijrah Nabi dinamakan tahun al-Izn, karena izin hijrah diberikan tahun itu. Tahun kedua disebut tahun Amr, karena pada tahun itu Allah SWT telah memberikan perintah kepada kaum Muslim untuk bertempur melawan kaum musyrik Makkah.

Akan tetapi, realisasi tentang penetapan penanggalan yang dipakai oleh umat Islam barulah terjadi di zaman Khalifah Umar. Menurut keterangan al-Biruni, Khalifah menerima sepucuk surat dari Abu Musa al-Asy’ari yang menjadi gubernur di Basyrah (Irak), isinya menyatakan, “Kami telah menerima banyak surat dari Amir al-Mu’minin, dan kami tidak tahu mana yang harus dilaksanakan. Kami sudah membaca satu perbuatan yang bertanggal Sya’ban, namun kami tidak tahu Sya’ban mana yang dimaksudkan: Sya’ban sekarang atau Sya’ban mendatang di tahun depan?”

Surat Abu Musa rupanya dirasakan oleh Khalifah Umar sebagai sindiran halus tentang perlunya ditetapkan satu penanggalan (kalender) yang seragam, yang dipergunakan sebagai tanggal, baik di kalangan pemerintahan maupun untuk keperluan umum.

Untuk menetapkan momentum apa yang sebaiknya dipergunakan dalam menentukan permulaan tahun baru Islam itu, Khalifah mengadakan musyawarah dengan semua ulama dan pembesar-pembesar Muslim. Dalam pertemuan itu ada empat usul yang dikemukakan, yaitu:

1.              Dihitung dari kelahiran Nabi Muhammad ();

2.              Dihitung dari wafatnya Rasulullah ();

3.              Dihitung dari hari Rasulullah menerima wahyu pertama di gua Hira yang merupakan awal tugas risalah kenabian;

4.              Dihitung mulai dari tanggal dan bulan Rasulullah melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah (usul yang terakhir ini diajukan oleh Ali ibn Abi Tahlib).

Tetapi baik kelahiran Nabi, maupun permulaan risalah kenabian tidak diambil sebagai awal penanggalan Islam, karena tanggal-tanggal tersebut menimbulkan kontroversi mengenai waktu yang pasti dari kejadian-kejadian itu. Hari wafat Nabi juga tidak berhasil dijadikan tanggal permulaan kalender, karena dipertautkan dengan kenang-kenangan menyedihkan pada hari wafatnya. Besar kemungkinan nanti akan menimbulkan perasaan-perasaan sedih dan sendu dalam kalbu kaum Muslim. Akhirnya, disetujuilah agar penanggalan Islam dimulai dari hijrah Rasul dari Makkah ke Madinah. Rasul tiba di Madinah pada hari Senin, 12 Rabi’ al-Awwal yang bertepatan dengan tanggal 24 September 622 M.

Ketika para sahabat menjadikan hijrah Nabi sebagai permulaan Kalender Islam, timbul perdebatan di kalangan mereka. Beberapa di antaranya mengemukakan supaya kalender itu dimulai dengan Rabi’ al-Awwal. Suhaili meriwayatkan tentang Imam Malik, yang menyatakan: “Permulaan Kalender Muslim ialah bulan Rabi’ al-Awwal, karena itu adalah bulan ketika Rasulullah memulai hijrahnya. Akan tetapi, bulan Muharram kemudian diterima sebagai bulan pertama penanggalan umat Islam, yakni kalender Hijriyah. Itu adalah pilihan dari ‘Usman ibn Affan.”

Sesungguhnya Umarlah akhirnya yang menyelesaikan perdebatan itu, dan memutuskan bahwa tahun baru Islam dihitung mulai dari hijrah Nabi dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah. Peristiwa yang sangat bersejarah ini terjadi tanggal 12 Rabi’ al-Awwal hari jum’at bertepatan dengan tanggal 24 Maret 622 M (Hari senin sebelumnya, 8 Rabi’ al-Awwal, Nabi tiba di Quba dan mendirikan mesjid Quba), dan tahun 1 Hijriah diawali dengan tanggal 1 Muharram bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622 M (yang berarti 1 Muharram tahun 1 H telah lewat 82 hari (atau 3 bulan kurang)). Sedang peristiwa penetapan kalender Islam oleh Umar ini terjadi hari Rabu, duapuluh hari sebelum berakhirnya Jumad al-Akhir, tahun ketujuhbelas sesudah Hijrah atau pada tahun keempat dari kekhalifahan(nya). (Almanak Alam Islami, Pustaka Jaya, Cet. I, Sya’ban 1420/November 2000, Hal. 183-184)

[3] وَعَنْ عَائِشَةَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا- ( أَنَّ سَوْدَةَ بِنْتَ زَمْعَةَ وَهَبَتْ يَوْمَهَا لِعَائِشَةَ ، وَكَانَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَقْسِمُ لِعَائِشَةَ يَوْمَهَا وَيَوْمَ سَوْدَةَ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ

Hadis No. 1088

Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa saudah Binti Zam'ah pernah memberikan hari gilirannya kepada 'Aisyah. Maka Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memberi giliran kepada 'Aisyah pada harinya dan pada hari saudah. Muttafaq Alaihi. (Bulughul Maram. https://carihadis.com/Bulughul_Maram/=saudah)


Saran Bacaan untuk Anda

Adab Murid dan Guru

Oleh: سعيد حوى   Murid memiliki adab dan tugas (wazhifah) lahiriyah yang banyak, di antara abab dan tugas seorang murid adalah tidak b...

Postingan Terpopuler