سعيد حوى
Murid memiliki adab dan tugas (wazhifah) lahiriyah yang banyak, di antara abab dan tugas seorang murid adalah tidak bersikap sombong kepada orang yang berilmu dan tidak bertindak sewenang-wenang terhadap guru, bahkan ia harus menyerahkan seluruh urusannya kepadanya dan mematuhi nasehatnya seperti orang sakit yang bodoh mematuhi nasehat dokter yang penuh kasih sayang dan mahir. Hendaklah ia bersikap tawadhu kepada gurunya dan mencari pahala dan ganjaran dengan berkhidmat kepadanya.
Asy-Sya’bi berkata, “Zaid bin Tsabit
menshalatkan jenazah, lalu baghalnya didekatkan kepadanya untuk ditunggangi,
kemudian Ibnu Abbas segera mengambil kendali baghal itu dan menuntunnya. Maka
Zaid berkata, “Lepaskan wahai anak paman Rasulullah!” Ibnu Abbas menjawab,
“Beginilah kami diperintahkan untuk melakukan kepada para ‘ulama dan tokoh.”
Kemudian Zaid bin Tsabit mencium tangannya (tangan Ibnu Abbas) seraya berkata,
“Beginilah kami diperintahkan untuk melakukan kepada kerabat Nabi kami ﷺ.”
(Thabrani, al-Hakim, dan al-Baihaqi di dalam al-Madkhal, tetapi mereka berkata,
“Demikianlah kami berbuat.” Al-Hakim berkata: Shahih sanadnya berdasarkan
syarat Muslim.
![]() |
Salah satu suasana kajian ilmu di Al-Faruq Islamic Youth Study Club |
Oleh karena itu
penuntut ilmu tidak boleh bersikap sombong terhadap guru. Di antara bentuk
kesombongannya terhadap guru ialah sikap tidak mau mengambil manfaat (ilmu)
kecuali dari orang-orang besar yang terkenal; padahal sikap ini merupakan
kebodohan. Karena ilmu merupakan faktor penyebab keselamatan dan kebahagiaan.
Siapa yang mencari tempat pelarian dari binatang buas yang berbahaya maka ia
tidak akan membeda-bedakan antara diberitahukan oleh orang yang terkenal
ataukah orang yang tidak tenar. Ilmu pengetahuan adalah barang milik kaum
Muslimin yang hilang, ia harus memungutnya dimana saja ditemukan, dan merasa
berutang budi kepada orang yang membawanya kepada dirinya siapapun orangnya.
Oleh sebab itu dikatakan:
“Ilmu enggan kepada
pemuda yang congkak seperti banjir enggan kepada tempat yang tinggi.”
Ilmu tidak bisa
didapat kecuali dengan tawadhu’ dan menggunakan pendengaran (berkonsentrasi),
Allah berfirman:
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَنْ
كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ
“Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang
menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaaf, 37)
Arti “mempunyai akal” ialah menerima ilmu dengan
faham, kemudian kemampuan memahami itu tidak akan bisa membantunya sebelum ia
“menggunakan pendengarannya sedang ia menyaksikan” dengan hati yang sepenuhnya
hadir untuk menerima setiap hal yang disampaikan kepadanya dengan konsentrasi
yang baik, tawadhu, syukur, memberi dan menerima karunia. Hendaklah murid
bersikap kepada gurunya seperti tanah gembur yang menerima hujan deras kemudian menyerap semua
bagian-bagiannya dan tunduk sepenuhnya untuk menerimanya.
Retype by Abahna Jafits
Dikutip dari:
المستخلص فى تزكيت الانفس
سعيد حوى
Al-Mustakhlish
fii Tazkiyatu Al-Anfus
MENSUCIKAN
JIWA Konsep Tazkiyatun-nafs Terpadu
Said
Hawwa
Robbani
Press, November 1995
Hal
16-17
***
لو لا العلم
لكان النّاس كالبهائم
اللّهمّ إنّى
اسئلك علمًا نَافعًا، و رزقًا واسعًا، و شفاءً من كلّ داءٍ
والله أعلم
AbahnaJafits’s Corner Private Library