Ulama ini adalah orang yang pertama kali memperkenalkan mata pelajaran Tarbiyah Islamiyah sebagai pelajaran dasar di sekolah. Dan pada perkembangan selanjutnya, pelajaran Tarbiyah Islamiyah menjadi mata pelajaran wajib yang harus dipelajari murid-murid di sekolah menengah di seluruh Suriah atau Syam. Ia juga aktif sebagai da’i di sekolah dan masjid di kota kelahirannya, Aleppo.
Ia adalah putra dari Syekh Said
Ulwan yang terkenal sebagai ulama dan dokter yang disegani. Dirinya juga
mewarisi keberanian mendakwahkan Islam sekalipun kepada pemerintah Syiah
Nushairiyah. Di dalam tubuhnya mewarisi darah keberanian shahabat Ali bin Abi
Thalib radiyallahu ‘anhu. Sebab jika dirunut, nasabnya sampai kepada keponakan
Nabi sekaligus khulafurrasyidin keempat ini.
Siapakah dia? Dia adalah Syaikh
Abdullah Nashih Ulwan rahimahullah, ulama pemberani dan tokoh pendidikan Islam
asli Aleppo, Suriah
Lahir pada tahun 1928 empat tahun
pasca runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. Putra asli Suriah ini terlahir di daerah
Qodhi Askar. Hidup dalam suasana keluarga religius yang terkenal kesalehan dan
kemurahan hatinya. Selain itu, jika dirunut silsilah nasab, Nashih Ulwan
termasuk keturunan shahabat Ali bin Abi Thalib radiyallahu anhu dari jalur Ali
Zainal Abidin bin Ali Bin Hussein bin Ali bin Abi Thalib.
Sedari kecil, Nashih Ulwan sudah
dididik sang ayahanda, syaikh Said Ulwan rahimahullah yang dikenal sebagai
dokter dan ahli obat-obatan. Orang-orang di sekitarnya mengenal baik syaikh
Said Ulwan sebagai dokter yang tidak pernah kering bibirnya dari bacaan
Al-Quran dan dzikrullah. Syaikh Said selalu berdoa agar anaknya dijadikan
seorang alim yang bijaksana dan seorang dokter muslim.Ternyata, Allah pun mengijabahi doanya.
Setelah menjalani pendidikan di
madrasah ibtidaiyah hingga tahun 1943, Ulwan melanjutkan mempelajari ilmu
syar’i di jenjang Tsanawiyah. Dalam jenjang ini, Ulwan banyak belajar pada para
ulama yang terkemuka pada saat itu seperti syaikh Raghib At-Tobakh, Ahmad
Al-Shama’, Abdurrahman Zainil Abidin, Naji Abu Shalih, Abdullah Hammad, Sa’id
Al-Idlibi rahimahullah ajma’in. Para syaikh tersebut memperlakukan siswa
seperti anak-anak mereka sendiri, sehingga mereka mendidik siswa dengan sepenuh
hati.
Dari deretan nama syaikh di atas,
pemikiran Ulwan banyak terpengaruh pada Raghib At-Tobakh. Raghib adalah seorang ulama yang menulis
sejarah kota Aleppo. Ulwan juga banyak mencontoh dan menuntut ilmu dari syaikh
Musthafa As-Siba’i.
Di jenjang ini, Ulwan mulai
mengenal Ikhawanul Muslimin dan berperan aktif di dalamnya. Dari sinilah Ulwan
muncul sebagai seorang pemberani dalam menyampaikan kebenaran. Ulwan juga mulai
belajar menjadi pemimpin dan mulai terasah jiwa kepemimpinannya.
Setelah lulus dari tingkat
Tsanawiyah pada tahun 1949, keluarganya menyokong Ulwan untuk melanjutkan ke
luar negeri, yaitu di negeri nabi Musa. Ulwan masuk ke Fakultas Ushuluddin,
Universitas Al-Azhar. Berhasil merampungkan
pendidikan S1 pada tahun 1952. Kemudian melanjutkan pendidikan S2 di
universitas yang sama dan berhasil menyabet gelar master spesialis bidang
pendidikan setaraf dengan Master of Art
pada 1954. Pada tahun yang sama (1954) sebenarnya Ulwan melanjutkan
pendidikan doktoral. Namun, kondisi politik yang tidak stabil membuat rencana itu terhenti.
Konflik pemerintah dengan
Ikhwanul Muslimin (IM) membuat kondisi Mesir memanas. Akhirnya, banyak anggota
Ikhwan yang ditangkapi. Kebanyakan ditangkap dengan tuduhan kepemilikan senjata
api. Kemudian pada bulan Oktober 1954, Majelis Pimpinan Revolusi mengumumkan
pembubaran Ikhwanul Muslimin. Ulwan termasuk salah satu aktivis IM yang
ditangkap. Pemerintah Mesir tidak mengizinkannya melanjutkan pendidikan
doktoral dan pada akhirnya Ulwan memperoleh gelar doktor di universitas Sandh,
Pakistan dengan desertasi yang berjudul Fiqh Dakwah wa Ad-Da’iyah pada tahun
1982.
Sejak tahun 1954, Ulwan menjadi
pengajar pendidikan Islam di madrasah tsanawiyah di Aleppo. Ulwan secara khusus
mengajarkan anak didiknya agar mencintai Islam. Pelajaran agama bukan hanya
sekadar untuk mengisi nilai dalam raport saja. Ulwan benar-benar menanamkan
rasa kebanggaan sebagai muslim sehingga terbentuklah semangat untuk membela
agama Allah.
Sebagaimana di negara Indonesia,
di Suriah saat itu pelajaran agama hanya
mendapatkan satu waktu di setiap minggunya. Ulwan merasa jam pelajaran yang ia
dapatkan hanyalah sedikit. Ia pun berusaha meluangkan waktunya untuk menambah
porsi jam pelajaran. Dan pelajaran yang ia ajarkan di waktu tambahan itu juga
ia masukkan ke dalam soal ujian nantinya.
Waktu itu adalah masa memanasnya
politik di Suriah. Orang-orang Nushairiyah yang notebene hanya 8% di Suriah
ingin menguasai negara itu yang mayoritas penduduknya 83 % berpaham Ahlussunnah
wal jamaah. Dengan segala tipu daya
Nushairiyah masuk ke dalam partai-partai orang Sunni dan menyempal setelah partai itu menjadi besar.
Puncaknya pada 23 Februari 1966, mereka berkuasa dengan diangkatnya Nuruddin
Al-Atasi sebagai presiden dan Hafidz Assad sebagai Perdana Menteri. Akhirnya,
secara turun termurun Syiah Nushairiyah berkuasa hingga saat ini.
Selain sebagai pendidik secara
formal di sebuah madrasah, Ulwan juga berkeliling mendakwahkan Islam. Tanpa
kenal lelah ia berkeliling dari masjid ke masjid di kota Aleppo untuk
membimbing masyarakat terutama pada pemudanya yang lapar akan ilmu agama. Ulwan
juga tidak pernah membeda-bedakan dakwah dimanapun juga. Baik itu undangan
khusus atau dalam acara umum tetap mendapatkan porsi yang sama. Selama masih
terjangkau, Ulwan akan mendatangi setiap undangan yang diberikan padanya. Hujan
lebat atau panas yang menyengat tidak pernah menyurutkan langkahnya dalam
dakwah. Bahkan ketika dirinya sakit, selama ia masih mampu menahan rasa sakit
itu, ia tetap berusaha menyampaikan dakwah islamiyah.