Senin, 15 Juli 2024

Mengenal Syaikh Abdullah Nasih Ulwan, Ulama Pakar Pendidikan Islam Asal Aleppo

Syaikh Abdullah Nasih Ulwan

Ulama ini adalah orang yang pertama kali memperkenalkan mata pelajaran Tarbiyah Islamiyah sebagai pelajaran dasar di sekolah. Dan pada perkembangan selanjutnya, pelajaran Tarbiyah Islamiyah menjadi mata pelajaran wajib yang harus dipelajari murid-murid di sekolah menengah di seluruh Suriah atau Syam. Ia juga  aktif sebagai da’i di sekolah dan masjid di kota kelahirannya, Aleppo.

 

Ia adalah putra dari Syekh Said Ulwan yang terkenal sebagai ulama dan dokter yang disegani. Dirinya juga mewarisi keberanian mendakwahkan Islam sekalipun kepada pemerintah Syiah Nushairiyah. Di dalam tubuhnya mewarisi darah keberanian shahabat Ali bin Abi Thalib radiyallahu ‘anhu. Sebab jika dirunut, nasabnya sampai kepada keponakan Nabi sekaligus khulafurrasyidin keempat ini.


Siapakah dia? Dia adalah Syaikh Abdullah Nashih Ulwan rahimahullah, ulama pemberani dan tokoh pendidikan Islam asli Aleppo, Suriah

 

Lahir pada tahun 1928 empat tahun pasca runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. Putra asli Suriah ini terlahir di daerah Qodhi Askar. Hidup dalam suasana keluarga religius yang terkenal kesalehan dan kemurahan hatinya. Selain itu, jika dirunut silsilah nasab, Nashih Ulwan termasuk keturunan shahabat Ali bin Abi Thalib radiyallahu anhu dari jalur Ali Zainal Abidin bin Ali Bin Hussein bin Ali bin Abi Thalib.

 

Sedari kecil, Nashih Ulwan sudah dididik sang ayahanda, syaikh Said Ulwan rahimahullah yang dikenal sebagai dokter dan ahli obat-obatan. Orang-orang di sekitarnya mengenal baik syaikh Said Ulwan sebagai dokter yang tidak pernah kering bibirnya dari bacaan Al-Quran dan dzikrullah. Syaikh Said selalu berdoa agar anaknya dijadikan seorang alim yang bijaksana dan seorang dokter muslim.Ternyata,  Allah pun mengijabahi doanya.

 

Setelah menjalani pendidikan di madrasah ibtidaiyah hingga tahun 1943, Ulwan melanjutkan mempelajari ilmu syar’i di jenjang Tsanawiyah. Dalam jenjang ini, Ulwan banyak belajar pada para ulama yang terkemuka pada saat itu seperti syaikh Raghib At-Tobakh, Ahmad Al-Shama’, Abdurrahman Zainil Abidin, Naji Abu Shalih, Abdullah Hammad, Sa’id Al-Idlibi rahimahullah ajma’in. Para syaikh tersebut memperlakukan siswa seperti anak-anak mereka sendiri, sehingga mereka mendidik siswa dengan sepenuh hati.

 

Dari deretan nama syaikh di atas, pemikiran Ulwan banyak terpengaruh pada Raghib At-Tobakh.  Raghib adalah seorang ulama yang menulis sejarah kota Aleppo. Ulwan juga banyak mencontoh dan menuntut ilmu dari syaikh Musthafa As-Siba’i.

 

Di jenjang ini, Ulwan mulai mengenal Ikhawanul Muslimin dan berperan aktif di dalamnya. Dari sinilah Ulwan muncul sebagai seorang pemberani dalam menyampaikan kebenaran. Ulwan juga mulai belajar menjadi pemimpin dan mulai terasah jiwa kepemimpinannya.


Setelah lulus dari tingkat Tsanawiyah pada tahun 1949, keluarganya menyokong Ulwan untuk melanjutkan ke luar negeri, yaitu di negeri nabi Musa. Ulwan masuk ke Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar.  Berhasil merampungkan pendidikan S1 pada tahun 1952. Kemudian melanjutkan pendidikan S2 di universitas yang sama dan berhasil menyabet gelar master spesialis bidang pendidikan setaraf dengan Master of Art  pada 1954. Pada tahun yang sama (1954) sebenarnya Ulwan melanjutkan pendidikan doktoral. Namun, kondisi politik yang tidak stabil  membuat rencana itu terhenti.

 

Konflik pemerintah dengan Ikhwanul Muslimin (IM) membuat kondisi Mesir memanas. Akhirnya, banyak anggota Ikhwan yang ditangkapi. Kebanyakan ditangkap dengan tuduhan kepemilikan senjata api. Kemudian pada bulan Oktober 1954, Majelis Pimpinan Revolusi mengumumkan pembubaran Ikhwanul Muslimin. Ulwan termasuk salah satu aktivis IM yang ditangkap. Pemerintah Mesir tidak mengizinkannya melanjutkan pendidikan doktoral dan pada akhirnya Ulwan memperoleh gelar doktor di universitas Sandh, Pakistan dengan desertasi yang berjudul Fiqh Dakwah wa Ad-Da’iyah pada tahun 1982.

 

Sejak tahun 1954, Ulwan menjadi pengajar pendidikan Islam di madrasah tsanawiyah di Aleppo. Ulwan secara khusus mengajarkan anak didiknya agar mencintai Islam. Pelajaran agama bukan hanya sekadar untuk mengisi nilai dalam raport saja. Ulwan benar-benar menanamkan rasa kebanggaan sebagai muslim sehingga terbentuklah semangat untuk membela agama Allah.

 

Sebagaimana di negara Indonesia, di  Suriah saat itu pelajaran agama hanya mendapatkan satu waktu di setiap minggunya. Ulwan merasa jam pelajaran yang ia dapatkan hanyalah sedikit. Ia pun berusaha meluangkan waktunya untuk menambah porsi jam pelajaran. Dan pelajaran yang ia ajarkan di waktu tambahan itu juga ia masukkan ke dalam soal ujian nantinya.

 

Waktu itu adalah masa memanasnya politik di Suriah. Orang-orang Nushairiyah yang notebene hanya 8% di Suriah ingin menguasai negara itu yang mayoritas penduduknya 83 % berpaham Ahlussunnah wal jamaah. Dengan segala tipu daya  Nushairiyah masuk ke dalam partai-partai orang Sunni dan  menyempal setelah partai itu menjadi besar. Puncaknya pada 23 Februari 1966, mereka berkuasa dengan diangkatnya Nuruddin Al-Atasi sebagai presiden dan Hafidz Assad sebagai Perdana Menteri. Akhirnya, secara turun termurun Syiah Nushairiyah berkuasa hingga saat ini.


 Karena kondisi yang sedemikian rupa, generasi muda Islam Suriah dihadapkan dengan ancaman paham nasionalis dan komunis. Ini adalah salah satu strategi orang Nushairi merusak pemuda Islam dengan racun-racun pemahaman yang bertentangan dengan aqidah Islam. Ulwan berusaha keras menepis paham-paham tersebut. Kendati pemerintahan dikuasai Syiah Nushairiyah, Ulwan sedikitpun tidak gentar dalam menyuarakan kebenaran.


Selain sebagai pendidik secara formal di sebuah madrasah, Ulwan juga berkeliling mendakwahkan Islam. Tanpa kenal lelah ia berkeliling dari masjid ke masjid di kota Aleppo untuk membimbing masyarakat terutama pada pemudanya yang lapar akan ilmu agama. Ulwan juga tidak pernah membeda-bedakan dakwah dimanapun juga. Baik itu undangan khusus atau dalam acara umum tetap mendapatkan porsi yang sama. Selama masih terjangkau, Ulwan akan mendatangi setiap undangan yang diberikan padanya. Hujan lebat atau panas yang menyengat tidak pernah menyurutkan langkahnya dalam dakwah. Bahkan ketika dirinya sakit, selama ia masih mampu menahan rasa sakit itu, ia tetap berusaha menyampaikan dakwah islamiyah.

Saran Bacaan untuk Anda

Adab Murid dan Guru

Oleh: سعيد حوى   Murid memiliki adab dan tugas (wazhifah) lahiriyah yang banyak, di antara abab dan tugas seorang murid adalah tidak b...

Postingan Terpopuler