Oleh: A. Hasan (Guru Persis)
Sebelum lanjut membaca artikel ini ada baiknya anda baca dahulu artikel (bab) sebelumnya, yaitu: Pertanyaan-pertanyaan yang Mustahil.
Di permulaan risalah ini, saya telah sebut delapan pokok-pokok maksud tulisan Tuan Ahsan di harian “Suara Rakyat” tanggal 9 Agustus 1955.
Delapan fashal
itu saya akan jawab di sini yang mana belum terjawab di dalam dua malam kita
bertukar pikiran.
1. “Seorang maupun
ia percaya kepada Tuhan ataupun tidak, tetap ia berakal”.
Sebab pun Tuan Ahsan berkata demikian karena
Tuan A. Ghaffar Ismail ada berkata di dalam ceramahnya bahwa orang yang tidak
percaya kepada Tuhan itu Tidak Berakal.
Kita sama-sama maklum bahwa:
I.
Anak-anak yang belum baligh dikatakan tidak
berakal.
II.
Sesuatu kesalahan yang terdapat di dalam satu
pekerjaan, dikatakan ini perbuatan orang yang tidak berakal.
III.
Orang yang berbuat sesuatu dengan tidak
memikirkan akibat dan natijahnya, dinamakan orang yang tidak berakal.
IV.
Orang yang mengerjakan satu kekejaman,
dinamakan orang yang tidak berakal.
V.
Orang yang tidak berpikir sebagaimana mestinya
di tempat yang perlu ia sabar dan pikirkan, dinamakan orang yang tidak berakal.
VI.
Orang yang gila, dinamakan orang yang tidak
berakal.
VII.
Oleh sebab adanya Tuhan adalah satu perkara
yang ditetapkan oleh akal yang mau memikirkannya, maka orang yang mengatakan
“Tidak ada Tuhan” itu pasti dapat dinamakan orang yang tidak berakal – dengan
salah satu arti di antara yang kedua sampai kelima.
Lantaran Tuan Ahsan – sebelum memikirkan
arti-arti yang mungkin bagi perkataan “orang yang tidak berakal” – telah
membantah, maka dengan sendirinya ia telah tergolong di dalam antara arti-arti
yang kedua sampai kelima itu.
2. “Pencipta
mestinya berbentuk. Tidak mungkin sesuatu pencipta tidak berbentuk, yakni Tuhan
itu kalau ada, mestinya berbentuk”. (Artinya berbentuk ialah ia dapat dicapai
salah satu panca indera).
Di dalam pertukaran pikiran dua malam, dengan
tegas Tuan Ahsan telah terima bahwa Tuhan itu ada dan tidak berbentuk.
(Bacalah kembali dari permulaan).
3. “Dzahirnya
makhluk lebih dahulu daripada Tuhan. Terus manusia mengadakan Tuhan”. (Maksud
perkataan itu, bahwa sebenarnya yang dikatakan Tuhan itu tidak ada. Hanya
manusia ada-adakan Tuhan dengan pikirannya).
Perkataan ini pun
telah terjawab dengan pengakuan Tuan Ahsan yang berulang-ulang tentang adanya
Tuhan. (bacalah fashal-fashal adanya Tuhan dan tidak adanya Tuhan di risalah
ini).
4. “Buah mangga
segar, setelah busuk, keluar ulat-ulatnya. Darimana datangnya ulat-ulat itu?
Bukankah dari reaksi alam?”
Buat Tuan Ahsan,
sebelum mengaku adanya Tuhan dan kekuasaan-Nya, bukan saja ulat-ulat dari
mangga itu jadi dari reaksi alam, bahkan mangga dan pohonnya dan seluruh alam
ini jadi dari sel dan reaksi alam.
Maka sesudah ia
mengaku adanya Tuhan dan mengaku segala sesuatu dibikin oleh Tuhan, rasanya
tidak usah lagi dijawab disini.
5. “Saya berpendapat
bahwa manusia adalah dari kera karena saya sudah periksa tulang-tulangnya
sangat mirip antara dua jenis itu. Dan di bulan Juli yang lalu saya berjumpa
seorang di Rumah Sakit Celaket Malang yang ekornya keluar memanjang dan ia
minta dipotong karena semakin panjang semakin sakit”.
Dalil orang yang
berekor yang ditunjukkan Tuan Ahsan memberi arti bahwa kera itu dari manusia,
bukan sebaliknya.
Oleh sebab
tulang-tulang manusia ada persamaannya dengan tulang-tulang kera, mengapakah
Tuan Ahsan berkata “Manusia dari Kera”? Mengapakah ia tidak berkata “Kera dari
Manusia” sebagaimana contoh orang yang berbuntut di malang itu?
Sebenarnya
kemiripan tulang-tulang binatang itu tidak dapat dijadikan dalil bahwa yang
satu berasal dari yang lain.
PERHATIKANLAH!
Tulang sapi mirip dengan tulang kerbau. Apakah
sapi dari kerbau atau kerbau sapi?
Tulang kaldai mirip dengan tulang kuda. Apakah
kuda berasal dari kaldai ataukah kaldai dari kuda?
Tulang kambing mirip dengan tulang rusa. Apakah
dua-dua itu asalnya satu?
Kambing-kambing yang begitu banyak macamnya,
apakh asalnya itu kambing kibasy atau kambing kacang?
Tulang merbuk dan tekukur bersamaan. Apakah asalnya
satu?
Gelatik dan pipit tulangnya tidak berbeda. Apakah
salah satunya jadi asal bagi yang lainnya?
Tulang unggas-unggas rata-rata bersamaan. Apakah
semua itu satu asalnya?
Ikan-ikan di laut, tulang-tulangnya
bermiripan. Apakah semua ikan dari satu jenis?
Orang yang menganggap manusia berasal dari
kera hanya dengan memandang kepada tulang-tulang, mengapa mereka tidak
memperhatikan lain-lain keadaan?
Perhatikan anak-anak monyet dan anak manusia! Anak
manusia – lantaran turunan monyet dan sudah lebih maju mestinya sekeluarnya
dari perut ibunya sudah bisa berjalan, melompat dan memanjat lebih dari pada
anak monyet.
Sekiranya manusia berasal dari monyet, maka
tak dapat tiada di tiap-tiap masa mesti ada makhluk yang di pertengahan jalan,
yakni di dalam keadaan evolusi yang sudah lewat kemonyetan dan menuju ke
kemanusiaan.
Sekiranya benar monyet itu asal bagi manusia,
maka sepatutnya monyet mempunyai kebiasaan yang ada pada manusia walaupun
sedikit. Monyet tak bisa berkata-kata walaupun beberapa kalimat, sekalipun
diajar beberapa tahun. Padahal ada lain binatang yang bisa.
Monyet tidak mempunyai tabiat berumahtangga
walaupun di bawah sederhana. Monyet tidak pandai menggunakan perkakas walaupun yang
semudah-mudahnya, walaupun sedikit.
Teori “manusia berasal dari monyet” itu
orang sandarkan kepada Darwin, padahal Darwin tidak berkata demikian. Darwin hanya
berpendapat bahwa bisa jadi manusia dan monyet dari satu asal yang sampai
sekarang sedang dicari apa dia atau siapa dia.
Andaikanlah bahwa manusia berasal dari monyet,
maka perlu pula kita susul, bahwa monyet itu berasal dari apa. Jika kita susul
terus niscaya kita berhenti di sat asal yang terpaksa kita berkata: Dijadikan
oleh Tuhan.
Buat kita kaum muslimin, bahwa manusia itu
berasal dari Adam, dan Adam dijadikan dari tanah. Tentang tanah itu sel-kah
atau atoom-kah atau lainnya, kita tak berkeberatan. Karena semua itu dari
makhluk Tuhan. Hanya kita tidak bisa terima jika dikata: Manusia jadi
sendiri dari atoom atau sel.
Pada pendapat saya, monyet dan kera bisa
bermegah diri dengan anggapan bahwa “kami berasal dari manusia”, tetapi kebanggan
apakah yang ada bagi manusia dengan menjadikan monyet dan kera sebagai datuk
neneknya?
6. “Manusia adalah ciptaan dari udara, hawa,
makanan dan tempat. Kalau mati, kembali kepada yang tersebut”.
Sel, atom, udara, hawa, air, makanan, tempat,
tidak bisa menciptakan manusia. Bahkan tidak bisa menjadikan seekor semut
kecuali dengan kehendak Tuhan.
Semua benda-benda yang dikatakan jadi bahan
wujudnya manusia itu tidak bernyawa, tidak berakal, tidak berkemauan. Maka benda-benda
yang begitu rupanya dan sifatnya bagaimanakah dapat mewujudkan satu manusia
yang berjiwa, berakal, berkemauan, jika tidak dengan ciptaan Tuhan yang Maha
Kuasa?
7. “Lucu sekali mendengar dongengan bahwa
manusia dijadikan dari tanah liat”.
Manusia dijadikan dari tanah liat tidak lucu,
bahkan dijadikan tanah liat daripada tidak ada kepada ada itu pun tidak lucu
dan tidak aneh, karena yang menjadikannya itu bersifat Maha Kuasa. Tetapi yang
aneh dan lucu ialah kepercayaan bahwa sel-sel bergerak-gerak yang dinamakan
berevolusi, lalu jadi manusia yang bernyawa, berakal dan berkemauan. Padahal sel-sel
itu sendiri tidak mempunyai nyawa, tidak akal dan tidak kemauan! Pikirkanlah,
bagaimana bisa muncul nyawa, akal dan kemauan dengan sebab gerakan sel-sel?
8. “Lebih-lebih lucu lagi katanya orang
berbuat kebaikan di dalam dunia ini supaya dibalas kebaikan sesudah matinya.
Ini mentertawakan saya”.
Sebelum bertukar pikiran di dua malam seperti
yang tersebut di permulaan risalah ini, Tuan Ahsan tidak menganggap adanya Tuhan.
Buat orang yang tidak ber-Tuhan, tentu tidak ada Agama dan tidak ada
pembalasan, bahkan tidak ada harinya.
Pembalasan di Akhirat berupa nikmat dan
kesenangan-kesenangan bagi orang yang berbuat kebaikan di dunia, dan berupa
azab-azab dan siksaan-siksaan bagi orang yang berbuat kejahatan di dunia itu,
diadakan oleh Tuhan, diberitahukan kepada kita dengan perantaraan utusan-Nya
dan Agama-Nya! Dan adanya pembalasan itu disetujui, bahkan dituntut oleh akal.
Lanjutkan membaca Pembalasan Berdasar Agama dan Pembalasan Berdasar Pikiran.