Sebelum lanjut membaca artikel di bawah ini ada baiknya anda baca artikel sebelumnya.
Di bawah ini saya mulai menerangkan soal-jawab
yang berlaku antara saya dan Tuan Ahsan dengan sedikit tambahan dan perubahan,
dan dengan menghilangkan pembicaraan yang berulang-ulang dan yang tidak perlu.
Karena yang dimaksudkan dengan risalah ini ialah bahan-bahan untuk
saudara-saudara yang kurang pengertian, tetapi ingin hendak mempertahankan
adanya Tuhan di hadapan orang yang berpendirian tidak ada Tuhan.
Setelah selesai menerangkan pertukaran pikiran saya dengan Tuan Ahsan, saya iringi dengan beberapa fashal berhubung dengan ada tidaknya Tuhan. Di fashal-fashal itu tak dapat dihindarkan berulangnya sesuatu pembicaraan lantaran sangat perlunya di tempat masing-masing.
A. Hasan :
Di dalam pertukaran pikiran kita tentang ada tidaknya Tuhan, tentu aka nada
beberapa perkara, undang-udang atau qaidah, yang perlu digunakan. Maka supaya
pembicaraan kita yang pokok tidak terhalang, saya rasa lebih baik kita
rundingkan perkara-perkara dan qaidah itu lebih dahulu.
Dari itu Tuan boleh bertanya apa sahaja yang
Tuan kehendaki, dan saya bersedia buat menjawabnya. Kemudian saya akan majukan
pertanyaan-pertanyaan yang saya perlu sebahai pendahuluan.
M. Ahsan :
Saya tidak bersedia. Boleh Tuan sahaja yang bertanya.
A. Hasan :
Benarkah bahwa Tuan berpendirian tidak ada Tuhan?
M. Ahsan :
Ya, benar.
A. Hasan :
Saya berpendirian ada Tuhan. Buat membuktikan keadaan sesuatu, ada beberapa
cara: dengan panca Indera; dengan perhitungan; (dan) dengan kepercayaan yang
berdasar perhitungan dengan penetapan aqal. Maka tentang membuktikan adanya
Tuhan. Tuan mau cara yang mana?
M. Ahsan :
Saya mau dibuktikan adanya Tuhan dengan panca Indera dan perhitungan dan
berbentuk. Karena tiap-tiap yang berbentuk, seperti kita semua, mestinya
dijadikan oleh yang berbentuk juga.[1]
A. Hasan :
Tidak bisa dibukktikan adanya Tuhan dengan panca Indera, karena ada banyak
perkara yang kita akui adanya tetapi tidak dapat dibuktika dengan panca Indera.
M. Ahsan :
Seperti apa?
A. Hasan :
Tuan ada mempunyai aqal, pikiran dan kemauan?
M. Ahsan :
Ada.
A. Hasan :
Bisakah Tuan membuktikan dengan panca Indera?
M. Ahsan :
Tidak bisa.
A. Hasan :
Bukan satu undang-undang ilmi dan bukan aqli bahwa tiap-tiap satu yang
berbentuk itu penciptanya mesti berbentuk juga. Ada banyak perkara yang tidak
berbentuk dibikin oleh yang berbentuk.
M. Ahsan :
Seperti apa?
A. Hasan :
Saya berkata-kata. Perkataan saya tidak berbentuk sedang saya sendiri yang
menciptakannya, berbentuk. Bom atom berbentuk dan bisa menghancurkan semua yang
berbentuk di sekelilingnya. Sedang aqal yang membikinnya tidak berbentuk.
Kekuatan elektrik tidak benbentuk, tetapi bisa menghapuskan dan meleburkan
semua yang berbentuk. Jadi, buat mengetahui sesuatu, tidak selamanya dapat
dengan panca Indera, dan pencipta sesuatu yang berbentuk tidak selalu mesti
berbentuk.
Kita kembali lagi kepada urusan panca Indera
dan perhitungan. Gedung Al-Irsyad ini jadi sendirikah atau dibikin oleh
manusia?
M. Ahsan :
Dibikin oleh manusia.
A. Hasan :
Dari mana Tuan tahu bahwa Gedung ini dibikin oleh manusia?
M. Ahsan :
Kita bis acari tukang yang membikinnya.
A. Hasan :
Bagaimana kalau tidak bisa bertemu? Saya rasa Tuan katakana Gedung ini dibikin
orang lantaran Tuan lihat beberapa rumah yang sedang dibikin. Dan Tuan lihat
ada beberapa persamaan antara rumah-rumah itu dengan Gedung ini dalam beberapa
hal, lalu Tuan pastikan bahwa Gedung ini pun mestinya dibikin seperti rumah-rumah
itu.
M. Ahsan :
Ya, betul begitu.
A. Hasan ;
Kalau begitu, Tuan tidak mengetahui dengan panca Indera akan pembikin Gedung
ini, tetapi dengan perhitungan dan perbandingan.
M. Ahsan :
Ya, benar demikian.
A. Hasan :
Pena yang saya pegang ini jadi sendirikah atau dibikin?
M. Ahsan :
Dibikin.
A. Hasan :
Darimana Tuan tahu bahwa pen aini dibikin? Adakah pernah Tuan lihat orang bikin
pen aini?
M. Ahsan :
Tidak.
A. Hasan :
Tuan tidak lihat, dan saya percaya tidak ada siapapun di majelis ini telah
melihat orang bikin pena. Tuan berkata pen aini dibikin orang lantara Tuan
pernah lihat orang bikin kursi, meja, bangku, terumpah, kasut dan lain
sebagainya. Dari itu Tuan percaya bahwa lantaran pena pun satu barang, tentulah
dibikin orang juga.
M. Ahsan :
Ya, betul demikian.
A. Hasan :
Kalau demikian, maka penetapan itu dengan perhitungan dan kepercayaan, bukan
dengan panca Indera.
Kalau kita berjalan di satu belukar lalu
berjumpa satu jam berkunci 24 jam dan sedang berjalan, tidakkah kita artikan
bahwa jam itu kepunyaan seorang dan orang itu lalui tempat ini belumlampau 24
jam?
M. Ahsan :
Ya, betul.
A. Hasan :
Ini adalah dengan pengiraan dan perhitungan, bukan dengan panca Indera.
Ketika kita lihat di satu kebun tiba-tiba
jatuh mati di hadapan kita seekor burung yang tembus dadanya dan berlumuran
darah, bolehkan kita berkata bahwa sejumlah sel berkumpul dan berevolusi, lalu
jadi anak panah atau peluru lalu menuju ke burung tersebut dan membunuhnya?
M. Ahsan :
Tidak bisa jadi. Mestinya ada yang memanah atau menembak burung itu.
A. Hasan :
Walaupun kita tidak lihat pembunuh itu, walaupun kita tidak lihat suara
tembakan, tetapi tetap kita berkata bahwa burung itu mati ditembak atau
dipanah. Karena kita tidak bisa menerima terjadinya sesuatu dengan tidak ada
yang menyebabkannya.
M. Ahsan :
Ya, betul begitu.
A. Hasan :
Kalau seorang berkata, bahwa “tadi saya lihat behan-bahan sepeda seperti roda,
ban luar, ban dalam, pedal, sadel, dan lainnya keluar dari took sepeda yang di
pojok itu, lalu tersususn dan terpasang, lantas berjalan sendiri.” Atau orang
itu berkata bahwa “di dalam perjalan tadi kesini saya bertemu sebuah sungai
dengan tidak berjembatan, tiba-tiba pohon yang di tepi sungai itu roboh dan
tumbang dengan sendiri, lalu terbelah balok-baloknya menjadi papan-papan,
lantas tersusun papan-papan itu menjadi perahu yang saya naiki dan menyeberang
kesini,” niscaya kita tolak mentah-mentah lantara aqal kita tidak mau menerima
ada sesuatu benda bergerak dengan tidak ada penggeraknya, atau terjadi dengan
tidak ada pembikinnya.
Bagaimana?
M. Ahsan :
Betul penolakan itu.
A. Hasan :
Di dalam dunia ini adakah negeri yang dinamai London, Washington, Moskow?
M. Ahsan :
Ada.
A. Hasan :
Apakah Tuan pernah ke negeri-negeri itu?
M. Ahsan :
Belum.
A. Hasan :
Maka darimana Tuan tahu adanya negeri itu?
M. Ahsan :
Dari orang-orang.
A. Hasan :
Bisa jadi di anatar orang-orang itu ada yang belum pernah kesana. Walaupun
bagaimanapun keadaaanya, buat Tuan, adanya negeri-negeri itu, hanya dengan
perantaraan percaya, bukan dengan panca Indera.
M. Ahsan :
Ya, betul begitu.
A. Hasan :
Pengakuan seseorang bahwa A bapaknya dan B ibunya, bukan dengan panca Indera,
bukan dengan perhitungan, bahkan semata-mata dengan kepercayaannya.
M. Ahsan :
Ya, memang begitu.
A. Hasan :
Dari pembicaraan kita, ternyata ada terlalu banyak perkara yang kita terima dan
akui adanya semata-mata dengan kepercayaan dan perhitungan, bukan dengan panca
indera.
M. Ahsan :
Ya, betul.
A. Hasan :
Oleh itu, tentang adanya Tuhan, tidak usah kita minta bukti dengan panca
Indera, tetapi cukup dengan perhitungan dan pertimbangan aqal sebagaimana kita
akui adanya ruh, aqal, kemauan, pikiran, percintaan, kebencian dan lain-lain.
M. Ahsan :
Ya, saya terima.
[1]
Panca Indera ada lima: lihat dengan mata, dengar dengan telinga, cium dengan
hidung, rasa denga lidah, pegang dengan tangan.