Sebelum lanjut membaca artikel di bawah ini ada baiknya anda baca artikel sebelumnya.
A. Hasan :
Apabila Tuan berpendirian tidak ada Tuhan, maka siapakah yang jadikan
sekalian yang kita lihat dan tahu ini?
M. Ahsan :
Sekalian itu jadi sendiri dari evolusi[1] atoom atau reaksi alam.
Perhatikan!
Pembicaraan yang akan datang akan ada sebutan atoom, sel dan lain-lain. Rasanya lebih baik kita tahu serba sedikit dari maksud lafazh-lafazh itu dan yang berhubungan dengannya.
Sel itu adalah benda yang terlalu halus, yang tidak dapat dilihat
melainkan dengan teropong hama yang paling tajam (mikroskop). Walaupun begitu
halus, tetapi sel itu mempunyai dinding dan isi. Isinya terdiri dari putih
telur, gajih, vitamin dan lain-lainnya. Isinya yang bermacam-macam itu pula
terdiri dari atoom-atoom. Jadi atoom itu sebagian daripada sel. Sel-sel ini
jadi bahan hidup yang utama bagi benda-benda yang berjiwa dan tumbuh-tumbuhan.
Di dalam kitab-kitab bahasa Arab, jika disebut
al-jauharulfard (الجوهرالفرد):
benda yang tunggal, al-juz-ulladzi (الجزء الذى لايتجزأ):
bahagian yang tak bisa terbagi lagi, al-maadatul-ula (المادة الاولى):
bahan yang pertama, bahan asasi, maka maksudnya itu adalah sel atau atoom.
Al-maaddatuz-zulaaliyah
(المادة
الزلاليه): benda cair yang
berlengas, yang likat, protoplasm, bahan putih telur.
Orang
yang beranggapan tidak ada Tuhan berkata bahwa di kosongan alam ini pada
permulaannya tidak ada apa-apa melainkan sel-sel saja. Sel-sel itu berevolusi,
yaitu berubah dan berangsuran dari satu keaadaan ke keadaan lain yang lebih
baik hingga tebal lalu berbentuk lantas jadi matahari, bumi, bulan dan
lain-lainnya.
Ringkasnya,
semua yang ada ini terjadi dari sel-sel (atau atoom-atoom sebagaimana sering
terpakai) atas jalan berevolusi yang memakan tempo beberapa masa yang panjang.
Mereka
mengakui bahwa sel-sel itu tidak mempunyai ruh, tidak aqal, tidak pikiran,
tidak kemauan. Tetapi ada padanya kekuatan hidup atau kekuatan Kahrubaa
iyyah (كهربائية)
electicity.
Mereka
beranggapan bahwa sl-sel itu memang dari azal sudah ada, yakni mempunyai
permulaan sebagaimana anggapan bahwa Allah itu azali yang tidak berpermulaan.
A. Hasan : Bila Tuan tidak ber-Tuhan tentulah
tidak beragama. Dari itu semua, baik dan jahat tentunya tuan timbang dengan
pikiran dan aqal. Maka menurut pikiran, apakah tuan merasa perlu ada keadilan
dan keadilan itu perlu dibela hingga tidak tersia-sia?
M. Ahsan :
Ya, perlu ada dan perlu dibela.
A. Hasan :
Apakah tuan makan benda berjiwa?
M. Ahsan :
Kalau binatang yang sedang berjiwa, saya tidak makan.
A. Hasan :
Saya tidak maksudkan binatang yang sedan hidup, tetapi daging
binatang-binatang: sapi dan kambing-kambing yang di jual di pasar.
M. Ahsan :
Ya, saya makan.
A. Hasan :
Itu berarti tidak adil, tuan zhalim.
M. Ahsan :
Mengapa tuan berkata begitu?
A. Hasan :
Karena menyembelih binatang itu, menurut pikiran, satu kesalahan atau
kezhaliman.
M. Ahsan :
Saya tidak bunuh binatang-binatang itu, tetapi penjualnya.
A. Hasan :
kalau tuan tidak makan dagingnya, tentu orang-orang tidak sembelih
binatangnya. Jadi tuan adalah seorang yang menyebabkan binatang-binatang itu
disembelih.
Baiklah, tidakkah pernah tuan beli ayam dan
sembelih buat dimakan?
M. Ahsan :
Ada, tetapi saya kasih lain orang buat sembelih.
A. Hasan :
Ini berarti tuan sendiri dengan langsung suruh orang melakukan kezhaliman. Baiklah
kita teruskan. Apa tuan berbuat kalau tuan digigit nyamuk?
M. Ahsan :
Saya bunuh.
A. Hasan :
Bukankah itu suatu kezhaliman?
M. Ahsan :
Saya bunuh nyamuk itu lantaran ia gigit saya.
A. Hasan :
Menurut keadilan pikiran, jika nyamuk gigit tuan, mestinya tuan balas gigit
dia. Balas dengan membunuh itu tidak adli. (Tuan M. Ahsan tertawa bersama
orang ramai yang dilarang tertawa dan tepuk tangan)
Marilah kita teruskan lagi. Bagaimana jika
seorang yang tuan kasih sayang sungguh-sungguh dirampok dan dibunuh oleh
seseorang?
M. Ahsan :
Pembunuh itu dicari dan dibalas bunuh.
A. Hasan :
Bagaimana membalasnya jika tidak diketahui siapa pembunuhnya?
M. Ahsan :
Diserahkan kepada polisi.
A. Hasan :
Bagaimana pula jika polisi pun tidak tahu siapa yang jadi pembunuhnya? Apakah
urusan itu habis dengan begitu saja?
Jika demikian berarti keadilan tidak
tersenggara. Orang yang teraniaya tidak terbela dan kezhaliman bisa merajalela.
Buat pendirian ber-Tuhan, pembunuhan itu akan
dibalas dengan siksaan yang sepantasnya di Hari Perhitungan. Bahkan sekalian
hukum di dunia yang tidak adil akan diadili hingga tidak ada kepincangan di
neraca keadilan.
Tuan ada menulis di “Suara Raakyat” tanggal 9
Agustus 1955 tentang seorang yang keluar buntutnya dan terus memanjang, lalu ia
minta pada Rumah Sakit Malang supaya dipotong dan dihilangkan karena semakin
panjang semakin menyakitkan.
M. Ahsan :
Ya, betul. Saya ada tulis begitu.
A. Hasan :
Apakah tuan hendak bermaksud dengan itu bahwa manusia berasal dari monyet.
M. Ahsan :
Ya, betul.
A. Hasan :
Apakah tuan mengira bahwa buntut orang itu kalau tidak dibuang dan terus
memanjang niscaya ia jadi monyet?
M. Ahsan :
Ya, betul begitu.
A. Hasan :
Jika demikian, berarti monyet berasal dari manusia. Bukan manusia berasal
dari monyet.
(Tuan
M. Ahsan turut tertawa di antara orang ramai yang tertawa dan bertepuk tangan
karena lupa kepada peraturan majlis).
[1] Berasal dari pengertian
evolusi (perkembangan). Jadi, evolusionisme arti sebenarnya adalah filsafat
yang berpendapat bahwa segala-galanya berkembang, berubah. Disini pada
hakekatnya “perkembangan” dipakai dalam arti yang netral; “perkembangan”
maknanya tidak lain melainkan “perubahan”; tidak ada sedikit pun tendensi yang
terselip di dalmnya. Tapi biasanya, baik dalam filsafat maupun dalam ilmu
kemasyarakatan (sosiologi, politik dsb.) pengertian evoulusi itu ditafsirkan
sebagai perubahan yang berupa peralihan dari sesuatu keadaan ke keadaan-keadaan
yang lain yang lebih baik adanya. Demikian terus-terusan jalannya evolusi kata
orang evolusionist semacam ini. Jadi disini evolusi sudah berarti kemajuan. Tentu
saja tanggapan sebagai tersebut tak boleh tidak menimbulkan perasaan yang
berupa optimism. Seandainya evolusi artinya kemajuan belaka, kelak tak boleh
tidak akan sempurnalah segala-galanya. Tanggapan evolusionisme semacam ini
tampak benar pada penganut-penganut marxisme misalnya, dan dalam filsafat pada
ajaran A. Comte. Sekarang bermacam-macam aliran menentang evolusionisme. Baik dalam
filsafat (existensialisme, vitalisme dsb), maupun kesusastraan (Dostojewski,
Ter Braak), Albert Camus) dan ilmu pengetahuan tmpak reaksi-reaksi yang hebat
terhadap aliran evolusionisme itu.