Kamis, 18 Juli 2024

RIWAYAT HIDUP A. HASSAN

Beliau ini bukan dari keturunan orang sunda tapi orang menyebutnya A. Hassan. Atau orang juga sering menyebutnya Hassan Bandung, atau juga Hassan Bangil. Sekarang orang lebih mudah menyebutnya A. Hassan. Ayahnya bernama Ahmad, seorang pengarang dan wartawan yang terkenal di Singapura, yang menerbitkan beberapa surat kabar dalam Bahasa Tamil. Ibunya Bernama Haji Muznah, orang Palekat (Madras – India) tetapi kelahiran Surabaya.

A. Hassan


Ahmad dan Muznah ini menikah di Surabaya, kemudian pindah ke Singapura dan di kota inilah pada tahun 1887 lahir Putera Tunggal mereka  “Hassan bin Ahmad” atau A. Hassan.

Pada usia 7 tahun Hassan bin Ahmad ini sudah mulai belajar Al-Qur’an, Agama dan lalu masuk sekolah Melayu, belajar Bahasa Arab, Bahasa Melayu, Tamil dan juga Inggris.

Keahliannya  dalam agama terutama dalam bidang hadits, tafsir, fiqh, ushul fifh, ilmu kalam dan mantiq. Berbagai macam masalah agama dapat diajukan kepadanya dan dapat dijwabnya.

Koleksi bukunya sangat banyak yang terdiri dari berbagai lapangan ilmu. Buku-bukunya yang banyak itu dibacanya dengan teliti dan tekun, bahkan mungkin dihapalnya. Setiap masalah yang diajukan kepadanya dapat dijawabnya dan ditunjukkan pada halaman buku yang telah penuh dengan tanda-tanda yang membuktikan bahwa buku-buku itu memang dibacanya.

Di samping perpustakaannya yang besar, A. Hassan juga memiliki buku catatan sendiri yang berisi berbagai masalah lengkap dengan dalil-dalil yang disusun menjadi abjad. Catatan inilah yang selalu dibawanya sebagai pengganti buku-bukunya yang tebal-tebal.

Di masa kanak-kanaknya, A. Hassan senang sekali memperhatikan pertukangan dan membantu ayahnya di percetakan yang bisa jadi karena inilah kelak beliau mendalami masalah pertenunan dan mendapatkan ijazah di Bandung lalu hidup berkecimpung di bidang percetakan dan karang mengarang.

Dari masa remajanya, ia pernah menjadi buruh di toko lain, berdagang permata, minyak wangi, es, vulkanisir ban mobil, menjadi guru Bahasa Melayu dan Arab, guru Agama dan menulis berbagai macam tulisan di surat kabar dan majalah. Di usia mudanya pada tahun 1909, pada usianya yang ke 22, dia telah aktif menjadi pembantu “Utusan Melayu” (atau mungkin “Oetoesan Melajoe”)[1]. Tulisan pertamanya ialah membuat kritik kepada Hakim (Qadli) saat itu yang memeriksa perkara dengan cara menggabungkan tempat duduk pria dan Wanita padahal pada saat itu taka da seorang pun berani mengkritik Hakim (Qadli). Kali yang berbeda A. Hassan juga mengkritik umat Islam yang tidak maju. Namun ucapan ini dianggap politis dan membuat A. Hassan diboikot dan tidak dibenarkan lagi berpidato.

Tahun 1921, A. Hassan pindah dari Singapura ke Surabaya. Beliau berdagang tapi rugi sehingga memaksanya untuk bekerja sebagai vulkanisir ban mobil. Di kota ini ia berkenalan baik dengan para pemimpin Sarekat Islam Surabaya sekalipun ia tidak menyatakan diri menjadi anggota Gerakan itu. Di kota ini ia bersahabat baik dengan H.O.S. Cokroaminoto, A.M. Sangaji, H. Agus Salim, Bakri Suraatmaja, Wondoamiseno, dll.

Ia belajar tenun di Kediri, tapi tidak memuaskannya, hingga membuatnya pada tahun 1925 pindah ke Bandung dan mendapatkan ijazah di Bandung.

 

DI BANDUNG

Di Bandung, A. Hassan berkenalan dengan tokoh-tokoh saudagar PERSIS, diantaranya Asyari, Tamim, Zam-zam, dll.

Kepindahannya ke Bandung pada tahun 1925 ini adalah dua tahun setelah PERSIS berdiri pada tahun 1923. Seringkali beliau mengajar di pengajian-pengajian PERSIS dan banyak orang tertarik oleh pengetahuan dan kepribadiannya yang membuatnya membatalkan maksudnya Kembali ke Surabaya. Dia lalu menetap di Bandung, menjadi guru PERSIS dan tokoh terkemuka PERSIS.

Pada tahun 1936 M. (1 Dzulhijjah 1354 H.), Bersama tokoh PERSIS didirikan sebuah yang bertempat di Masjid “Persatuan Islam” di Jalan Pangeran Sumedang (Jalan Oto Iskandar Dinata – sekarang). Pengurus-pengurus dan guru-gurunya terdiri dari beberapa ikhwan yang ditaqdirkan Allah mesti berlaku “Lillah”.
Diantaranya : Al-Ustadz A. HASSAN sebagai kepala dan guru PESANTREN, dan sdr. Moh. NATSIR sebagai penasehat dan guru.

Tujuan mendirikan PESANTREN itu ialah mencetak muballighien yang sanggup menyiarkan, mengajar, membela, dan mempertahankan Agama mereka, agama Islam, dimana saja mereka berada. Pelajarannya, selain dari ‘ilmu-‘ilmu Agama, diajarkan juga ‘ilmu umum, seperti ‘ilmu pendidikan oleh M. Natsir dan tehnik oleh R. Abdulkadir (lususan Sekolah Tehnik Bandung). Pelajar-pelajar ketika itu ada sekitar 40 orang, dari beberapa daerah kepulauan Indonesia yang kebanyakannya dari luar tanah Jawa.
Diantara 40 pelajar ini, ketika di Bandung juga sebahagiannya telah dapat meninggalkan PESANTREN sebagai muballighien.

Disamping PESANTREN untuk pemuda-pemuda, diadakan pula waktu sore Pesantren untuk kanak-kanak dengan nama PESANTREN KECIL. Murid-muridnja ada sekitar 100 anak, laki-laki dan perempuan. Pelajaran-pelajarannya disesuaikan dengan kepatutan dan kebutuhan anak-anak itu.
Pekerjaan rutinnya sungguh banyak: Menjadi guru PERSIS, memberi kursus kepada pelajar-pelajar didikan barat, bertabligh setiap minggu, Menyusun berbagai karangan dan berdebat.

 

KORESPONDENSI DENGAN SOEKARNO DI ENDE

Soekarno diasingkan ke Ende, Flores pada 14 Januari 1934. Ia diasingkan di sana selama empat tahun (1934-1938). Setelah itu, ia diasingkan ke Bengkulu. Penyebab Bung Karno kembali diasingkan dan dibuang ke Ende karena kegiatan politiknya dianggap membahayakan posisi Belanda. Ir. Soekarno dan keluarganya diberangkatkan dari Surabaya menuju Flores dengan kapal barang KM van Riebeeck.

Tiga hari sebelum diberangkatkan ke pelabuhan, Soekarno bertemu ayah dan ibunya. Mereka diberi waktu kesempatan selama 3 menit untuk berpamitan. Di pelabuhan, kepergian Soekarno dan keluarganya dilepas oleh orang-orang yang berjejal-jejal berbaris dengan melambaikan bendera merah putih yang dibuat sendiri.

Dalam kondisi kesepian, Soekarno menulis naskah selama pembuangan di Ende. Dari tahun 1934 hingga 1938, ia menyelesaikan 12 naskah. Karya pertama diilhami oleh Frankenstein berjudul Dr Setan dengan tokok utama Boris Karloff Indonesia yang menghidupkan mayat dengan melakukan tranplantasi hati dari orang yang hidup. Naskah lainnya adalah Rahasia Kelimutu, Jula Gubi, Kut Kutbi, Anak Haram Jadah, Maha Iblis, Aero Dinamit, Nggera Ende, Amoek, Rahasia Kelimutu II, Sang Hai Rumba, dan 1945. Soekarno pun mendirikan perkumpulan Sandiwara Kelimutu yang namanya diambil dari nama danau tiga warna di Flores.

Selain daripada itu, Soekarno pun rajin melakukan korespondensi dengan sahabat-sahabatnya. Di antara surat yang dikirimkan Soekarno itu adalah dilayangken kepada A. Hassan (Guru PERSATUAN ISLAM) di Bandung. Tak kurang dari 12 pucuk surat dilayang Soekarno kepada A. Hassan tentang berbagai hal terutama dalam bidang Agama.

Ketika dikabarkan kepada Soekarno bahwa A. Hassan Bersama PERSATUAN ISLAM telah berhasil mendirikan sebuah pesantren, pada surat yang bertanggal 22 April 1936, Soekarno menulis:

“Kabar tentang berdirinya pesantren sangat menggembirakan saya. Kalau boleh saya memajukan sedikit usul: hendaknya ditambah banyaknya “pengetahuan barat” yang hendak dikasihkan kepada murid-murid pesantren itu…

Tuan Hassan, maafkanlah saya bila saya punya obrolan ini. Benar satu obrolan, tapi satu obrolan yang keluar dari sedalam-dalamnya saya punya qalbu. Moga-moga Tuan suka perhatikannya berhubung dengan Tuan punya pesantren. Hiduplah Tuan punya pesantren itu!"

 

PINDAH KE BANGIL

Di kediamannya, di Gang Blk. Pagade Bandung, sebuah rumah sederhana, terkenal majalahnya “Pembela Islam”. Majalah ini diterbitkan dengan kertas HVS dan menggunakan tinta biru. Pendiriannya kuat untuk tidak menerima sedekah atau bantuan orang untuk hidup. Ia juga mulai menyusun tafsir Al-Furqan dan mendirikan percetakan sendiri. Dia bekerja sendiri mulai dari menset, mencetak, menjilid dan mengoreksi, diterbitkannya dan dijualnya sendiri. Dengan hasil usahanya inilah beliau hidup.

Pendirinnya tegas memegang teguh dasar Qur’an dan Hadits, sangat hati-hati dalam agama, ahli debat yang tiada taranya, dan kritikus tajam. Dia membela agama dengan seluruh kekuatan, tidak peduli bahaya apapun yang harus dihadapi. Semboyan hidup baginya adala: “Tidak ada penghidupan yang lebih baik daripada hidup mengikuti tuntunan Agama, dan berbuat kebaikan kepada siapapun sekedar bisa dengan penuh keikhlasan.”

Tujuhbelas tahun beliau tinggal di Bandung dan selama itu ia dikenal dengan sebutan “Hassan Bandung.” Pada tahun 1941 ia pindah ke Bangil berikut percetakannya dan majalahnya. Di Bangil beliau melanjutkan perjuangannya sebagaimana dilakukannya di Bandung: Menulis buku, menerbitkan majalah dan mendirikan pesantren.

PESANTREN PERSIS itu sendiri telah berdiri di Bangil pada bulan Maret 1940. Murid-murid yang belum mendapat pelajaran yang cukup waktu di Bandung dibawa ke Bangil, untuk ditamatkan beberapa pelajaran lagi. Ketika itu tinggal sekitar 25 orang murid dan di Bangil mendapat tambahan beberapa murid dari berbagai-bagai daerah Indonesia.

Setelah PESANTREN Putera tersebut berjalan hampir setahun, lalu pada bulan Pebruari 1941 dibuka pula Pesantren Isteri, dengan sekitar 12 murid yang hampir semua dari luar Bangil. Kedua-dua bagian Pesantren tadi berjalan dengan baik. Tiba-tiba pada bulan Desember 1941 pecah perang Jepang yang menyebabkan peladar-pelajar yang dari jauh merasa gelisah, lalu masing-masing pulang ke tempat kediaman mereka. Ketika Jepang masuk pulau Jawa tahun 1942 pelajar-pelajar yang tidak sempat pulang, tinggal beberapa pelajar laki-laki. Sungguhpun demikian, 90 persen dari pelajar-pelajar Pesantren Putera sekarang, telah menjadi orang-orang yang sesuai dengan tujuan PESANTREN.
Juga diadakan Pesantren untuk kanak-kanak, dengan tujuan menjaga supaya anak-anak tidak terseret kepada pengaruh-pengaruh lain. Pesantren ini dinamakan PESANTREN KECIL (seperti di Bandung), dibawah asuhan pelajar-pelajar PESANTREN yang tidak sempat pulang tadi.

Pada tahun 1958, tepatnya pada tanggal 10 Nopember 1958, A. Hassan, Hassan Bandung, Hassan Bangil tutup usia setelah meninggalkan begitu banyak jejak kebaikan. Allahuyarhamhu. Hingga saat ini PESANTREN PERSIS BANGIL berdiri megah dan Sebagian besar santrinya tersebar dari bagian Indonesia Timur, mencetak beiribu-ribu mubalighien, buku-bukunya menjadi bahan bacaan utama dan menghiasi banyak perpustakaan.

*Dari berbagai sumber.



[1] Hanya saja dalam Wikipedia (https://id.wikipedia.org/wiki/Oetoesan_Melajoe ) disebutkan bahwa Oetoesan Melajoe (EYDUtusan Melayu) adalah sebuah surat kabar harian di Padang yang terbit pertama kali pada 2 Januari 1911. Surat kabar ini dipimpin oleh Datuk Sutan Maharadja dan dicetak oleh Pertjetakan Orang Alam Minangkabau di Pasa Gadang. Surat kabar tersebut diklaim sebagai surat kabar pertama yang dicetak oleh pribumi Indonesia.

Saran Bacaan untuk Anda

Adab Murid dan Guru

Oleh: سعيد حوى   Murid memiliki adab dan tugas (wazhifah) lahiriyah yang banyak, di antara abab dan tugas seorang murid adalah tidak b...

Postingan Terpopuler