Beliau ini bukan dari keturunan orang sunda tapi orang menyebutnya A. Hassan. Atau orang juga sering menyebutnya Hassan Bandung, atau juga Hassan Bangil. Sekarang orang lebih mudah menyebutnya A. Hassan. Ayahnya bernama Ahmad, seorang pengarang dan wartawan yang terkenal di Singapura, yang menerbitkan beberapa surat kabar dalam Bahasa Tamil. Ibunya Bernama Haji Muznah, orang Palekat (Madras – India) tetapi kelahiran Surabaya.
![]() |
A. Hassan |
Ahmad dan Muznah ini menikah di
Surabaya, kemudian pindah ke Singapura dan di kota inilah pada tahun 1887 lahir
Putera Tunggal mereka “Hassan bin Ahmad”
atau A. Hassan.
Pada usia 7 tahun Hassan bin
Ahmad ini sudah mulai belajar Al-Qur’an, Agama dan lalu masuk sekolah Melayu,
belajar Bahasa Arab, Bahasa Melayu, Tamil dan juga Inggris.
Keahliannya dalam agama terutama dalam bidang hadits,
tafsir, fiqh, ushul fifh, ilmu kalam dan mantiq. Berbagai macam masalah agama
dapat diajukan kepadanya dan dapat dijwabnya.
Koleksi bukunya sangat banyak
yang terdiri dari berbagai lapangan ilmu. Buku-bukunya yang banyak itu
dibacanya dengan teliti dan tekun, bahkan mungkin dihapalnya. Setiap masalah
yang diajukan kepadanya dapat dijawabnya dan ditunjukkan pada halaman buku yang
telah penuh dengan tanda-tanda yang membuktikan bahwa buku-buku itu memang
dibacanya.
Di samping perpustakaannya yang
besar, A. Hassan juga memiliki buku catatan sendiri yang berisi berbagai
masalah lengkap dengan dalil-dalil yang disusun menjadi abjad. Catatan inilah
yang selalu dibawanya sebagai pengganti buku-bukunya yang tebal-tebal.
Di masa kanak-kanaknya, A. Hassan
senang sekali memperhatikan pertukangan dan membantu ayahnya di percetakan yang
bisa jadi karena inilah kelak beliau mendalami masalah pertenunan dan
mendapatkan ijazah di Bandung lalu hidup berkecimpung di bidang percetakan dan
karang mengarang.
Dari masa remajanya, ia pernah
menjadi buruh di toko lain, berdagang permata, minyak wangi, es, vulkanisir ban
mobil, menjadi guru Bahasa Melayu dan Arab, guru Agama dan menulis berbagai
macam tulisan di surat kabar dan majalah. Di usia mudanya pada tahun 1909, pada
usianya yang ke 22, dia telah aktif menjadi pembantu “Utusan Melayu” (atau
mungkin “Oetoesan Melajoe”)[1].
Tulisan pertamanya ialah membuat kritik kepada Hakim (Qadli) saat itu yang
memeriksa perkara dengan cara menggabungkan tempat duduk pria dan Wanita
padahal pada saat itu taka da seorang pun berani mengkritik Hakim (Qadli). Kali
yang berbeda A. Hassan juga mengkritik umat Islam yang tidak maju. Namun ucapan
ini dianggap politis dan membuat A. Hassan diboikot dan tidak dibenarkan lagi
berpidato.
Tahun 1921, A. Hassan pindah dari
Singapura ke Surabaya. Beliau berdagang tapi rugi sehingga memaksanya untuk
bekerja sebagai vulkanisir ban mobil. Di kota ini ia berkenalan baik dengan
para pemimpin Sarekat Islam Surabaya sekalipun ia tidak menyatakan diri menjadi
anggota Gerakan itu. Di kota ini ia bersahabat baik dengan H.O.S. Cokroaminoto,
A.M. Sangaji, H. Agus Salim, Bakri Suraatmaja, Wondoamiseno, dll.
Ia belajar tenun di Kediri, tapi
tidak memuaskannya, hingga membuatnya pada tahun 1925 pindah ke Bandung dan
mendapatkan ijazah di Bandung.
DI BANDUNG
Di Bandung, A. Hassan berkenalan
dengan tokoh-tokoh saudagar PERSIS, diantaranya Asyari, Tamim, Zam-zam, dll.
Kepindahannya ke Bandung pada
tahun 1925 ini adalah dua tahun setelah PERSIS berdiri pada tahun 1923.
Seringkali beliau mengajar di pengajian-pengajian PERSIS dan banyak orang
tertarik oleh pengetahuan dan kepribadiannya yang membuatnya membatalkan
maksudnya Kembali ke Surabaya. Dia lalu menetap di Bandung, menjadi guru PERSIS
dan tokoh terkemuka PERSIS.
Pada tahun 1936 M. (1 Dzulhijjah
1354 H.), Bersama tokoh PERSIS didirikan sebuah yang bertempat di Masjid
“Persatuan Islam” di Jalan Pangeran Sumedang (Jalan Oto Iskandar Dinata –
sekarang). Pengurus-pengurus dan guru-gurunya terdiri dari beberapa ikhwan yang
ditaqdirkan Allah mesti berlaku “Lillah”.
Diantaranya : Al-Ustadz A. HASSAN sebagai kepala dan guru PESANTREN, dan sdr.
Moh. NATSIR sebagai penasehat dan guru.
Tujuan mendirikan PESANTREN itu
ialah mencetak muballighien yang sanggup menyiarkan, mengajar, membela, dan
mempertahankan Agama mereka, agama Islam, dimana saja mereka berada. Pelajarannya,
selain dari ‘ilmu-‘ilmu Agama, diajarkan juga ‘ilmu umum, seperti ‘ilmu
pendidikan oleh M. Natsir dan tehnik oleh R. Abdulkadir (lususan
Sekolah Tehnik Bandung). Pelajar-pelajar ketika itu ada sekitar 40 orang, dari
beberapa daerah kepulauan Indonesia yang kebanyakannya dari luar tanah Jawa.
Diantara 40 pelajar ini, ketika di Bandung juga sebahagiannya telah dapat
meninggalkan PESANTREN sebagai muballighien.
Disamping PESANTREN untuk
pemuda-pemuda, diadakan pula waktu sore Pesantren untuk kanak-kanak dengan nama
PESANTREN KECIL. Murid-muridnja ada sekitar 100 anak, laki-laki dan perempuan. Pelajaran-pelajarannya
disesuaikan dengan kepatutan dan kebutuhan anak-anak itu.
Pekerjaan rutinnya sungguh banyak: Menjadi guru PERSIS, memberi kursus kepada
pelajar-pelajar didikan barat, bertabligh setiap minggu, Menyusun berbagai
karangan dan berdebat.
KORESPONDENSI DENGAN SOEKARNO
DI ENDE
Soekarno diasingkan ke Ende,
Flores pada 14 Januari 1934. Ia diasingkan di sana selama empat tahun (1934-1938).
Setelah itu, ia diasingkan ke Bengkulu. Penyebab Bung Karno kembali diasingkan
dan dibuang ke Ende karena kegiatan politiknya dianggap membahayakan
posisi Belanda. Ir. Soekarno dan keluarganya diberangkatkan dari Surabaya
menuju Flores dengan kapal barang KM van Riebeeck.
Tiga hari sebelum diberangkatkan
ke pelabuhan, Soekarno bertemu ayah dan ibunya. Mereka diberi waktu kesempatan
selama 3 menit untuk berpamitan. Di pelabuhan, kepergian Soekarno dan
keluarganya dilepas oleh orang-orang yang berjejal-jejal berbaris dengan
melambaikan bendera merah putih yang dibuat sendiri.
Dalam kondisi kesepian, Soekarno
menulis naskah selama pembuangan di Ende. Dari tahun 1934 hingga 1938, ia
menyelesaikan 12 naskah. Karya pertama diilhami oleh Frankenstein berjudul Dr
Setan dengan tokok utama Boris Karloff Indonesia yang menghidupkan mayat dengan
melakukan tranplantasi hati dari orang yang hidup. Naskah lainnya adalah
Rahasia Kelimutu, Jula Gubi, Kut Kutbi, Anak Haram Jadah, Maha Iblis, Aero
Dinamit, Nggera Ende, Amoek, Rahasia Kelimutu II, Sang Hai Rumba, dan 1945.
Soekarno pun mendirikan perkumpulan Sandiwara Kelimutu yang namanya diambil
dari nama danau tiga warna di Flores.
Selain daripada itu, Soekarno pun
rajin melakukan korespondensi dengan sahabat-sahabatnya. Di antara surat yang
dikirimkan Soekarno itu adalah dilayangken kepada A. Hassan (Guru PERSATUAN
ISLAM) di Bandung. Tak kurang dari 12 pucuk surat dilayang Soekarno kepada A.
Hassan tentang berbagai hal terutama dalam bidang Agama.
Ketika dikabarkan kepada Soekarno
bahwa A. Hassan Bersama PERSATUAN ISLAM telah berhasil mendirikan sebuah pesantren,
pada surat yang bertanggal 22 April 1936, Soekarno menulis:
“Kabar tentang berdirinya
pesantren sangat menggembirakan saya. Kalau boleh saya memajukan sedikit usul:
hendaknya ditambah banyaknya “pengetahuan barat” yang hendak dikasihkan kepada
murid-murid pesantren itu…
Tuan Hassan, maafkanlah saya bila
saya punya obrolan ini. Benar satu obrolan, tapi satu obrolan yang keluar dari
sedalam-dalamnya saya punya qalbu. Moga-moga Tuan suka perhatikannya berhubung
dengan Tuan punya pesantren. Hiduplah Tuan punya pesantren itu!"
PINDAH KE BANGIL
Di kediamannya, di Gang Blk.
Pagade Bandung, sebuah rumah sederhana, terkenal majalahnya “Pembela Islam”.
Majalah ini diterbitkan dengan kertas HVS dan menggunakan tinta biru. Pendiriannya
kuat untuk tidak menerima sedekah atau bantuan orang untuk hidup. Ia juga mulai
menyusun tafsir Al-Furqan dan mendirikan percetakan sendiri. Dia bekerja
sendiri mulai dari menset, mencetak, menjilid dan mengoreksi, diterbitkannya
dan dijualnya sendiri. Dengan hasil usahanya inilah beliau hidup.
Pendirinnya tegas memegang teguh
dasar Qur’an dan Hadits, sangat hati-hati dalam agama, ahli debat yang tiada
taranya, dan kritikus tajam. Dia membela agama dengan seluruh kekuatan, tidak
peduli bahaya apapun yang harus dihadapi. Semboyan hidup baginya adala: “Tidak
ada penghidupan yang lebih baik daripada hidup mengikuti tuntunan Agama, dan
berbuat kebaikan kepada siapapun sekedar bisa dengan penuh keikhlasan.”
Tujuhbelas tahun beliau tinggal
di Bandung dan selama itu ia dikenal dengan sebutan “Hassan Bandung.” Pada
tahun 1941 ia pindah ke Bangil berikut percetakannya dan majalahnya. Di Bangil
beliau melanjutkan perjuangannya sebagaimana dilakukannya di Bandung: Menulis
buku, menerbitkan majalah dan mendirikan pesantren.
PESANTREN PERSIS itu sendiri
telah berdiri di Bangil pada bulan Maret 1940. Murid-murid yang belum mendapat
pelajaran yang cukup waktu di Bandung dibawa ke Bangil, untuk ditamatkan
beberapa pelajaran lagi. Ketika itu tinggal sekitar 25 orang murid dan di
Bangil mendapat tambahan beberapa murid dari berbagai-bagai daerah Indonesia.
Setelah PESANTREN Putera tersebut
berjalan hampir setahun, lalu pada bulan Pebruari 1941 dibuka pula Pesantren
Isteri, dengan sekitar 12 murid yang hampir semua dari luar Bangil. Kedua-dua
bagian Pesantren tadi berjalan dengan baik. Tiba-tiba pada bulan Desember 1941
pecah perang Jepang yang menyebabkan peladar-pelajar yang dari jauh merasa gelisah,
lalu masing-masing pulang ke tempat kediaman mereka. Ketika Jepang masuk pulau Jawa
tahun 1942 pelajar-pelajar yang tidak sempat pulang, tinggal beberapa pelajar
laki-laki. Sungguhpun demikian, 90 persen dari pelajar-pelajar Pesantren Putera
sekarang, telah menjadi orang-orang yang sesuai dengan tujuan PESANTREN.
Juga diadakan Pesantren untuk kanak-kanak, dengan tujuan menjaga supaya
anak-anak tidak terseret kepada pengaruh-pengaruh lain. Pesantren ini dinamakan
PESANTREN KECIL (seperti di Bandung), dibawah asuhan pelajar-pelajar PESANTREN yang
tidak sempat pulang tadi.
Pada tahun 1958, tepatnya pada
tanggal 10 Nopember 1958, A. Hassan, Hassan Bandung, Hassan Bangil tutup usia
setelah meninggalkan begitu banyak jejak kebaikan. Allahuyarhamhu. Hingga saat
ini PESANTREN PERSIS BANGIL berdiri megah dan Sebagian besar santrinya tersebar
dari bagian Indonesia Timur, mencetak beiribu-ribu mubalighien, buku-bukunya
menjadi bahan bacaan utama dan menghiasi banyak perpustakaan.
*Dari berbagai sumber.
[1]
Hanya saja dalam Wikipedia (https://id.wikipedia.org/wiki/Oetoesan_Melajoe
) disebutkan bahwa Oetoesan Melajoe (EYD: Utusan
Melayu) adalah sebuah surat
kabar harian di Padang yang terbit pertama kali pada 2 Januari 1911.
Surat kabar ini dipimpin oleh Datuk Sutan Maharadja dan dicetak oleh
Pertjetakan Orang Alam Minangkabau di Pasa Gadang. Surat kabar
tersebut diklaim sebagai surat kabar pertama yang dicetak oleh pribumi
Indonesia.