Lanjutan dari "Adakah Tuhan?"
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Berdaya Upaya sekuat tenaga dan pikiran di dalam lapangan hidup adalah syarat yang mutlak untuk menghasilkan apa yang menjadi kebutuhan hidup itu.
Tetapi adalah suatu kejanggalan dan bunuh diri
apabila seseorang yang batas kemampuannya memikul hanya 100 Kg beban
lantas ia memaksa diri juga untuk
mengangkat beban 500 Kg.
Kiranya tidak berlebih-lebihan apabila
dikatakan disini bahwa semua anggota tubuh kita terbatas kemampuan kegiatannya.
Maka apabila seseorang mampu makan sebanyak 1
Kg makanan tentu ia tidak akan mampu menghabiskan 10 Kg dari makanan itu.
Begitu pula kalua ia sanggup menelan 10 liter
air tentu kesanggupan itu tidak aka nada lagi bila ia diminta untuk menelan 30
liter air.
Begitu juga halnya dengan kemampuan berjalan,
mendengar, memandang, berdiri, duduk dan selainnya; termasuk juga kemampuan
hidup dan berpikir.
Disini, tidak dimaksud mempersempit kegiatan
orang dalam berpikir dan membanting tulang dalam bergerak dan berusaha;
sekali-kali tidak! Karena berdiam dan tidak berusaha menurut kemampuan
masing-masing adalah menyalahi fitrah; dan dari apa yang kita ketahui; syarat
hidup adalah gerak, dan yang tidak bergerak berarti mati.
Maka sekali lagi kami tidak mempersempit usaha
dan kegiatan, malah silahkan berlomba-lomba mendekati titik puas (saturation
point) dalam semua kegiatan, tetapi jangan sampai melampaui titik itu; sebab
melampaui titik itu dalam memikul berarti patah, dan melampaui itu dalam makan
berarti tumpah, Adapun melampaui titik itu dalam berpikir berarti meracau atau
gila.
Kadang-kadang kita terlampau memaksa diri dan
pikiran kita untuk menerangkan sesuatu yang sebenarnya ada di luar batas
kemampuan pikiran dan ilmu yang ada pada masing-masing; tetapi, karena Hasrat untuk
memuaskan orang yang sedang mendengar atau bertanya, atau karena penyakit ‘ingin
mempertahankan prestasi’ agar tidak dikatakan atau disangka ‘tidak pandai’,
kita melantur juga dalam berbicara.
Melantur seperti itu tidak dikendalikan oleh
pikiran yang diterangi oleh sesuatu ilmu yang bersarang di dalam jiwa, akan
tetapi melantur karena dorongan hawa nafsu ingin merpertahankan prestasi tadi.
Dengan cara ini malah terbuka kejahilan yang
bersarang di balik kedok melantur itu.
Selanjutnya, untuk membuktikan adanya Tuhan,
adalah satu soal yang mudah sekali, bukti-bukti dari pada itu terang benderang
di hadapan kita, asal saja kita bersedia mengarahkan akal dan pikiran kita kea
rah itu. Dan lebih dari ini, pikiran tersebut harus disertai oleh keinsyafan. Karena
pikiran yang tidak disertai keinsyafan biasanya mengingkari kebenaran.
Di atas, telah disebut akal dan pikiran, sebab
akal dan pikiran membuat kita yakin dan pasti tentang sesuatu; dan dengan
menggunakan akal dan pikiran yang disertai dengan usaha dan ketekunan, banyak
hal-hal yang telah menjadi rahasia dapat diwujudkan; tidak sedikit cita-cita
telah tercapai, dan berbagai kebutuhan hidup telah dihasilkan.
Begitu pula
unutk membuktikan adanya Tuhan, mengenal Tuhan, patuh kepada Tuhan, perlu
sekali dengan menggunakan akal pikiran itu.
Dan dengan tidak menggunakan akal pikiran,
pasti kita tak kan mengenal Tuhan; dan yang kita kenal dalam hal ini, adalah
takhayul, keraguan dan kekacauan belaka.
Membuktikan adanya Tuhan, berarti akal dan
pikiran kita harus memberikan kepada kita kepastian dan keyakian bahwa Tuhan
itu ada.
Pembaca-pembaca yang terhormat, agar dipaham
apa yang kami maksud, marilah kita bersama memperhatikan beberapa soal di bawah
ini, dan selanjutnya keseluruhan isi buku ini.
Kalau buku yang saudara-saudara bac aini sedari
bahan mentahnya sampai menjadi buku dikatakan “jadi dengan sendirinya” tentu
saudara-saudara tidak akan terima. Apa sebabnya? Sebab akal memastikan bahwa
buku ini harus diwujudkan, dibuat. Karena dalam kejadian buku tersebut terdapat
beberapa pekerjaan akal dan pemikiran, yaitu ilmu dan keahlian membuat kertas, Menyusun
lembarannya, menjilid, memotong dan lain sebagainya.
Selanjutnya akal tidak akan menerima apabila
tulisan dalam buku ini tersusun dengan sendirinya, karena harus ada naskah dari
tulisan ini yang tadinya direncanakan dan dipikirkan dan ditulis, dikoreksi
sedapat-dapatnya, diatur di mesin cetak sampai menjadi buku ini.
Tentu pekerjaan ini memerlukan keahlian dan
ketelitian yang tidak ada hubungannya dengan “jadi dengan sendirinya”, atau ”jadi
secara kebetulan”.
Untuk membuktikan adanya Tuhan, tidak usah
kita jauh-jauh memandang dan meraba, marilah memperhatikan tubuh kita sendiri
dan kebutuhannya.
1. Manusia tidak akan hidup kalau tidak
ada hawa udara (oksigen) untuk pernapasannya.
2. Manusia tidak akan hidup kalau tidak
ada makanan dan minuman.
Justru kebutuhan manusia yang lazim kepada
ketiga unsur hidup itu, bila 2 unsur-unsur itu sudah ada tersedia.
Mungkinkah mereka terjadi secara kebetulan
atau jadi dengan sendirinya?
Tidak pantaskah akal pikiran kita dengan
insyaf mengakui bahwa ada Yang Maha Berilmu yang menentukan ini semua?
Selanjutnya di antara makanan yang dibutuhkan
manusia untuk menyambung hidupnya, terdapat yang keras dan sebelum ditelan
perlu dihancurkan terlebih dahulu.
Untuk keperluan tersebut, harus ada lat yang
keras dan bergerak dan ruangan untuk menempatkan makanan itu, disertai oleh air
unutk memudahkan proses penggilingan.
Alat-alat
tersebut lengkap tersedia, yaitu: gigi, rahang bawah, ruang mulut,
kelenjar-kelenjar air ludah.
Dan alangkah sedihnya apabila mulut ompong,
terbuka atau tertutup terus.
Mungkinkah ketelitian ini jadi dengan
sendirinya kalau tidak ada yang Maha Arif dan Bijaksana yang mengatur ini
semua?
Dalam hidung terdapat saringan berlendir yaitu
rambut hidung untuk melindungi paru-paru dari debu yang ikut terhirup kemudian
dapat dikeluarkan sebagai kotoran hidung.
Kalau benar-benar dengan keinsyafan kita
mengikuti ini semua, niscaya akan timbul satu pertanyaan dalam diri kita
mungkinkah ketelitian yang luar bias aini terjadi dengan sendirinya?
Maha Suci Allah Pencipta yang sebaik-baiknya.
Seterusnya, dalam mengenal Tuhan, agar pikiran
kita tidak dikacaukan dengan pengaruh mensifatkan Tuhan kepada benda-benda
dengan berkata Tuhan itu matahari, bulan, laut, batu, pohon, Tuhan banyak,
Tuhan dua, Tuhan tiga, Tuhan menjelma ini dan itu.
Maha Suci Tuhan dari semua tuduhan-tuduhan
itu.
Kalau dalam mengenal Tuhan akal pikiran dan
keinsyafan kita selalu hadir, tentu tidak akan timbul kekacauan-kekacauan
semacam itu, karena pada apa-apa yang tersebut itu terdapat
kelemahan-kelemahan.
Maka akal pikiran yang sehat tidak akan
menerima kalau Tuhan bersifat lemah atau bersifat dengan sifat makhluk-Nya.
Ringkasnya, kalau kita mau mengenal Tuhan,
hendaklah kita membuang sedikit waktu. Waktu yang sangat sedikit bila
dibandingkan banyak waktu yang terbuang percuma dalam hal-hal yang tidak
berarti.
Kita semua bertanggung jawab dalam mengenal
Tuhan karena kita mempunyai akal dan pikiran. Tentu kita tak dapat main
untung-untungan dalam hal ini. Dan tanggung jawab itu harus kita laksanakan
dengan sebaik-baiknya.
Karena sekedar mengakui adanya Tuhan tetapi
tidak mengenal dan tidak patuh kepada Tuhan itu pun berarti satu kekacauan.
Agar supaya tidak membiarkan akal kita meracau
dan meraba di dalam kegelapan sehingga mensifatkan Tuhan kepada yang
tidak-tidak alangkah tepatnya kalau kita menyisihkan segala paksaan diri dan
pemerasan otak di luar pengetahuan kita, dan langsung mengenal Tuhan dari jalan
yang Tuhan kehendaki sendiri. Jalan yang Tuhan unjuk kepada manusia agar mereka
mengenal-Nya. Jalan yang dimaksud disini adalah agama, dan dalam hal ini adalah
Agama Islam.
Selanjutnya patuh kepada Tuhan berarti
mengerjakan tiap sesuatu yang diperintahkan Tuhan dan menjauhi larangan-Nya.
Sebagai mukaddimah, semoga ini tidak
menjemukan dan mudah-mudahan Allah membuka hati kita untuk mengenal-Nya dan
patuh kepada-Nya.
M.B
Teruskan membaca Riwayat Sebab Terjadinya Pertukaran Pikiran