Oleh: Dr. Adian Husaini
Pada Hari Selasa (27 Oktober 2020), saya mendapat undangan acara
bedah buku – via Zoom -- berjudul “Persis di Era Millenium Kedua”, karya Prof.
Atip Latipulhayat et al.. Pembicara lainnya adalah: Prof. Syafiq Mughni, Prof.
Hamdan Zoelva, Dr. Chalil Nafis, dan Prof. Dadan Wildan.
Buku “Persis di Era Millenium Kedua” merupakan kumpulan tulisan
yang secara umum memuat gagasan untuk kemajuan Persis (Persatuan Islam). Ormas
Islam ini pada tahun 2023 akan memasuki usia 100 tahun. Diharapkan, Persis akan
melompat untuk meraih kemajuan.
Pada kesempatan itulah saya menawarkan sejumlah gagasan praktis
agar Persis menjadi organisasi yang hebat; menjadi organisasi
Islam terdepan! Dalam usianya yang ke-97 tahun ini, Persis telah menorehkan
banyak prestasi dalam dakwah Islam di Indonesia. Ke depan, Persis harus menjadi
teladan dalam berbagai pemikiran dan bentuk aktivitas dakwah, baik dalam
pendidikan, sosial, ekonomi, hukum, politik, dan lain-lain.
Pada saat yang sama, Persis harus membangun rasa percaya diri
dan bangga dengan pemikiran dan keyakinannya, serta tidak perlu “terlalu dalam”
berkutat dalam diskursus pemikiran yang kurang bermanfaat. Tetapi, Persis tidak
boleh menutup diri dari berbagai pemikiran besar. Justru, Persis perlu
menghimpun dan memilih pemikiran-pemikiran terbaik dari para
ulama dan pemikir besar, sebagai bekal melangkah ke depan.
Saya menyarankan agar Persis lebih mengedepankan kualitas,
ketimbang kuantitas. Anggota dan jamaah Persis saat ini sudah jutaan jumlahnya.
Itu potensi yang sangat besar, jika dibina dan diberdayakan seoptimal mungkin.
Tentu saja, jumlah besar dan berkualitas lebih bagus. Tetapi, jika harus
memilih, maka menurut saya, kualitas lebih penting!
Jadi, Persis tidak perlu terlalu resah diplesetkan singkatannya
menjadi “Persatuan Islam Sunda”. Penduduk Jawa Barat saat ini sekitar 50 juta
orang. Jauh lebih besar dari penduduk Malaysia ditambah Singapura dan Brunei
Darussalam. Dalam kunjungan saya ke berbagai kota dan desa di Jawa Barat, masih
banyak masyarakat Jawa Barat yang memerlukan sentuhan dakwah Islam.
Persis pun tak perlu risau dengan label-label tertentu yang
disematkan oleh para peneliti atau pengamat keagamaan, seperti label
“konservatif”, “puritan”, “kolot”, “ormas fiqih” dan sebagainya. Karena itu,
Persis juga tidak perlu berambisi untuk disebut sebagai organisasi yang
progresif dan maju, yang dengan itu lalu meninggalkan prinsip-prinsip ajaran
Islam.
Yang perlu dilakukan adalah menjawab pelabelan-pelebalen itu
dengan karya intelektual maupun karya nyata dalam berbagai bidang kehidupan.
Dalam banyak hal, Persis telah melakukan ini dengan baik.
Pendidikan Tinggi
Secara khusus, saya menawarkan gagasan, agar Persis membangun suatu Perguruan
Tinggi Islam terbaik di Indonesia.
Perguruan Tinggi ini harus benar-benar menerapkan konsep universitas Islam
ideal. Di sinilah nantinya dilahirkan kader-kader ulama dan cendekiawan muslim
yang hebat. Mereka bukan hanya
mampu memimpin Persis, tetapi mampu memimpin Indonesia!
Caranya sederhana. Hanya tiga langkah saja: (1) Rumuskan konsep
pendidikan tinggi ideal, (2) rekrut dosen-dosen dan mahasiswa terbaik (3) cari dana
dan lokasi yang ideal! Itu saja. InsyaAllah, Persis mampu untuk itu.
Sebenarnya, Persis telah memiliki modal pendidikan ideal. Model
Pendidikan Tinggi Persis itu pernah melahirkan orang-orang hebat seperti
Mohammad Natsir, Ustadz E. Abdurrahman, KH Isa Anshary, dan sebagainya.
Ada dua disertasi doktor pendidikan Islam di Universitas Ibn
Khaldun Bogor yang menelaah konsep pendidikan ideal di lingkungan Persis.
Yaitu, disertasi Doktor Syarif Hidayat berjudul “Konsep Pendidikan Berbasis
Adab A. Hassan” dan Disertasi Doktor Dwi Budiman yang berjudul “Konsep
Pendidikan Kader Ulama E. Abdurrahman”.
Meskipun pendidikan formalnya hanya setingkat SMA, Mohammad
Natsir telah menjalani proses pendidikan ideal, sampai ke jenjang pendidikan
tinggi. Pak Natsir mengaku ada tiga guru yang sangat berpengaruh pada dirinya,
yaitu A. Hassan, Syekh Ahmad Soorkati, dan Haji Agus Salim.
Pak Natsir bukan hanya mampu memahami hakikat pendidikan dan
merumuskan konsep pendidikan ideal, tetapi ia kemudian menjadi pelopor dalam
pendirian sejumlah Perguruan Tinggi Islam di Indonesia. Tujuh tahun sebelum
Sekolah Tinggi Islam (STI) berdiri, Pak Natsir sudah menulis makalah berjudul
“Sekolah Tinggi Islam”. Pak Natsir adalah sekretaris panitia pendirian
universitas Islam pertama di Indonesia itu. Ketuanya, Bung Hatta.
Indikator utama Perguruan Tinggi Islam ideal adalah
keberhasilannya dalam melahirkan kader-kader ulama yang memiliki kualitas
keilmuan tinggi, akhlak mulia, dan kegigihan serta kebijakan dalam berjihad
fi-sabilillah. Perguruan Tinggi Islam tidak boleh terjebak oleh
indikator-indikator materialis-kapitalistik yang mengukur keberhasilan suatu
pendidikan terutama dari segi kesuksesan duniawi. Perguruan Tinggi Islam ideal
tidak menjalankan proses pendidikan yang memupuk benih-benih kecintaan terhadap
dunia.
Mohammad Natsir adalah salah satu contoh ideal dari model
Pendidikan Tinggi terbaik di lingkungan
Persis. Model itu bisa dikaji, dirumuskan, dan diaktualisasikan kembali sesuai
dengan konteks zaman kita. Dan Persis memiliki potensi intelektual yang
melimpah untuk melakukan proyek besar ini.
Begitulah sejumlah gagasan dan saran untuk kebaikan dan
keunggulan Persis di masa mendatang. InsyaAllah, para pimpinan dan intelektual
Persis memiliki potensi untuk menjadikan Persis sebagai organisasi Islam
teladan. Tapi, lagi-lagi, kuncinya ada dua: TAHU DAN MAHU!
Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 28 Oktober 2020).
*****