Jumat, 16 April 2021

TABYIT SHAUM RAMADLAN


Retype dengan sedikit penyuntingan dari Buku Sukses Ibadah Ramadlan (Panduan Bagi Yang Tidak Mau Gagal Ibadah Ramadlan) karangan Dr. Nashruddin Syarief, S.S., M.Pd.I.

 

 

Tabyit artinya mempersiapkan diri pada malam hari untuk melakukan sesuatu esok hari. Tabyit sering disamakan dengan niat. Niat sendiri artinya tujuan yang tertanam di dalam hati. Imam An-Nawawi menjelaskan:

اَلنِّيَّةُ الْقَصْدُ وَ هِيَ عَزِمَةُ الْقَلْبِ

“Niat itu adalah tujuan, dan ia itu ketetapan hati.” (Fathul Bari 1:2)

Niat pasti selalu menyertai. Siapa saja orang yang berjalan, pasti ia memiliki tujuan, kenapa ia berjalan. Begitu pun yang duduk, yang berdiri, berbaring, diam bahkan tidur. Mestilah orang itu memiliki niat ketika hendak melakukan sesuatu. Orang yang ngigau atau orang gila saja mungkin yang tidak menyertakan niat dalam setiap gerak geriknya.

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ . [رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة[

Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda : Sesungguhnya setiap  perbuatan([1]) tergantung niatnya([2]).  Dan  sesungguhnya  setiap  orang  (akan dibalas)berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya ([3]) karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan. (Riwayat dua imam hadis, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naishaburi dan kedua kita Shahihnya yang merupakan kitab yang paling shahih yang pernah dikarang)[1]

Niat itu otomatis ada dalam amal dan dengan demikian tak perlu diucapkan. Demikian pula dalam niat dalam ibadah, tak perlu diucapkan. Syaikh ‘Utsaimin menjelaskan:

اَلنِّيَّةُ مَحَلُّهَا الْقَلْبِ، وَ لَا مَحَلَّ لَهَا فِى اللِّسَانِ فِى جَمِيْعِ الَاَعْمَالِ؛ وَ لِهَذَا كَانَ مَنْ نَطَقَّ بِالنِّيَّةِ عِنْدَ إرَادَةِ الصَّلَاةِ أَوِ الصَّوْمِ أَوِ الْحَجِّ أَوِ الْوُضُوْءِ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأَعْمَالِ كَانَ مُبْتَدِعًا قَائِلًا فِى دِيْنِ اللهِ مَا لَيْسَ مِنْهَ

“Niat itu tempatnya di hati. Dan tidak ada tempat baginya dalam lisan, di semua amal. Oleh karena itu siapa yang mengucapkan niat ketika hendak shalat, shaum, haji, wudlu, atau amal lainnya maka ia berbuat bid’ah. Karena ia mengatakan dalam agama Allah sesuatu yang tidak ada padanya (agama).(Syarah Riyadush-Shalihin lil ‘Utsaimin 1:1).

Tabyit, atau menetapkan niat dalam hati pada malam hari sebelumnya untuk melaksanakan shaum ramadlan adalah mutlak harus dilakukan, sebagamana sabda Nabi :


مَنْ لَمْ يُجْمِعْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلا صِيَامَ لَهُ  (رواه الترمذي، رقم 730، ولفظ النسائي، رقم 2334) مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ مِنْ اللَّيْلِ فَلا صِيَامَ لَهُ (صححه الألباني في صحيح الترمذي، رقم 583(

“Barangsiapa belum niat untuk melakukan puasa sebelum fajar, maka dia tidak mendapatkan puasa.” (HR. Tirmizi, no. 730, sedangkan redaksi dalam riwayat Nasa’i, no. 2334) “Barangsiapa yang belum berniat puasa di malam hari, maka dia tidak mendapatkan puasa.” (Dishahihkan oleh Al-Albany dalam kitab shahih Tirmizi, no. 583)

Dalam lafadz lain:

سنن الدارقطني 2193: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ مُوسَى بْنِ أَبِي حَامِدٍ , ثنا رَوْحُ بْنُ الْفَرَجِ أَبُو الزِّنْبَاعِ الْمِصْرِيُّ بِمَكَّةَ , ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّادٍ أَبُو عَبَّادٍ , ثنا الْمُفَضَّلُ بْنُ فَضَالَةَ , حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ , عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ , عَنْ عَمْرَةَ , عَنْ عَائِشَةَ , عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ». تَفَرَّدَ بِهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّادٍ , عَنِ الْمُفَضَّلِ بِهَذَا الْإِسْنَادِ , وَكُلُّهُمْ ثِقَاتٌ

Sunan Daruquthni 2193: Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Musa bin Abi Hamid menceritakan kepada kami, Rauh bin Al Faraj Abu Az-Zinba' Al Mishri menceritakan kepada kami di Makkah, Abdullah bin Abbad Abu Abbad menceritakan kepada kami, menceritakan kepada kami Al Mufadhdhal bin Fadhalah, menceritakan kepadaku Yahya bin Ayub, dari Yahya bin Sa'id, dari Amrah, dari Aisyah, dari Nabi SAW, beliau bersabda, "Barangsiapa yang tidak berniat puasa pada malam hari sebelum terbit fajar, maka tidak ada puasa baginya.‘ Abdullah bin Abbad meriwayatkannya sendiri dari Al Mufadhdhal dengan sanad ini dan semuanya terpercaya.

Praktiknya, setiap orang yang hendak melaksanakan shaum ramadlan harus sudah memiliki niat shaum itu dari sejak sebelum fajar. Dengan makan sahur, maka hal itu sudah terwakili. Dan disanalah terdapat urgensi makan sahur, sebagai bukti bahwa kita memiliki ketetapan hati untuk melaksanakan shaum ramadlan pada hari itu. Orang yang sakit pada hari sebelumnya dan pada malam harinya dia belum memiliki ketetapan hati untuk melaksanakan shaum ramadlan, maka pada saat sahur itu dimana dia sudah merasa kuat untuk melaksanakan shaum ramadlan, dia telah menetapkan hatinya.

Demikian halnya dengan orang yang merencakan safar dari sejak malam harinya dan merencakan tidak akan shaum ramadlan, kalua ternyata safarnya tidak jadi lalu dia shaum ramadlan, maka shaumnya TIDAK SAH. Ia harus terus berbuka, dan mengqadlanya di lain hari.

Maka dari itu ada baiknya bagi yang ragu dengan sakitnya, atau yang akan safar di esok harinya, ikutlah sahur dahulu, tetapkan niat/ tabyit dahulu. Masalah shaum tidak jadi, tidak mengapa.

 

Niat/ Tabyit pada Shaum-Shaum di Luar Shaum Ramadlan

و حَدَّثَنَا أَبُو كَامِلٍ فُضَيْلُ بْنُ حُسَيْنٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ حَدَّثَنَا طَلْحَةُ بْنُ يَحْيَى بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ حَدَّثَتْنِي عَائِشَةُ بِنْتُ طَلْحَةَ عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ يَا عَائِشَةُ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ قَالَتْ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عِنْدَنَا شَيْءٌ قَالَ فَإِنِّي صَائِمٌ قَالَتْ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأُهْدِيَتْ لَنَا هَدِيَّةٌ أَوْ جَاءَنَا زَوْرٌ قَالَتْ فَلَمَّا رَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِيَتْ لَنَا هَدِيَّةٌ أَوْ جَاءَنَا زَوْرٌ وَقَدْ خَبَأْتُ لَكَ شَيْئًا قَالَ مَا هُوَ قُلْتُ حَيْسٌ قَالَ هَاتِيهِ فَجِئْتُ بِهِ فَأَكَلَ ثُمَّ قَالَ قَدْ كُنْتُ أَصْبَحْتُ صَائِمًا قَالَ طَلْحَةُ فَحَدَّثْتُ مُجَاهِدًا بِهَذَا الْحَدِيثِ فَقَالَ ذَاكَ بِمَنْزِلَةِ الرَّجُلِ يُخْرِجُ الصَّدَقَةَ مِنْ مَالِهِ فَإِنْ شَاءَ أَمْضَاهَا وَإِنْ شَاءَ أَمْسَكَهَا

Dan Telah menceritakan kepada kami Abu Kamil Fudlail bin Husain(1) telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid bin Ziyad(2) telah menceritakan kepada kami Thalhah bin Yahya bin Ubaidullah(3) telah menceritakan kepadaku Aisyah binti Thalhah(4) dari Aisyah(5) radliallahu 'anha, ia berkata; Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepadaku: "Wahai Aisyah, apakah kamu mempunyai makanan?" Aisyah menjawab, "Tidak, ya Rasulullah." Beliau bersabda: "Kalau begitu, aku akan berpuasa." Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun keluar. Tak lama kemudian, saya diberi hadiah berupa makanan -atau dengan redaksi seorang tamu mengunjungi kami--. Aisyah berkata; Maka ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kembali saya pun berkata, "Ya Rasulullah, tadi ada orang datang memberi kita makanan dan kusimpan untuk Anda." Beliau bertanya: "Makanan apa itu?" saya menjawab, "Kuwe hais (yakni terbuat dari kurma, minyak samin dan keju)." Beliau bersabda: "Bawalah kemari." Maka kuwe itu pun aku sajikan untuk beliau, lalu beliau makan, kemudian berkata, "Sungguh dari pagi tadi aku puasa." Thalhah berkata; Saya menceritakan hadis ini kepada Mujahid, lalu ia berkata, "Hal itu seperti halnya seorang laki-laki yang mengeluarkan sedekah. Jika ingin, ia akan mengeluarkannya, dan jika tidak, maka ia akan menahannya." [2]

Hadits di atas menginformasikan bolehnya shaum sunat dengan tidak niat sebelum fajar. Shaum sunnat juga boleh dibatalkan di tengah hari.



[2] (1) Fudloil bin Husain bin Thalhah, Al Jahdariy, Abu Kamil, Tabi'ul Atba' kalangan tua, wafat tahun 237 H, hidup di Bashrah. (2) Abdul Wahid bin Ziyad, Al 'Abdiy, Abu Bisyir, Tabi'ut Tabi'in kalangan pertengahan, wafat tahun 176 H, hidup di Bashrah. (3) Thalhah bin Yahya bin Thalhah bin 'Ubaidillah, At Taymiy Al Madaniy, Tabi'in (tdk jumpa Shahabat), wafat tahun 148 H, hidup di Kufah. (4) Aisyah binti Thalhah bin 'Ubaidillah, At Taymiyyah, Ummu 'Imran, Tabi'in kalangan pertengahan, hidup di Madinah. (5) Aisyah binti Abi Bakar Ash Shiddiq, At Taymiyyah, Ummu 'Abdullah, Ummu Al Mu'minin, Shahabat, wafat tahun 58 H, hidup di Madinah, wafat di Madinah.

https://carihadis.com/Shahih_Muslim/1950

Saran Bacaan untuk Anda

Adab Murid dan Guru

Oleh: سعيد حوى   Murid memiliki adab dan tugas (wazhifah) lahiriyah yang banyak, di antara abab dan tugas seorang murid adalah tidak b...

Postingan Terpopuler