Jumat, 11 Desember 2020

‘Akad Rahn (Gadai)

‘Akad Rahn (Gadai)

Oleh : Ust. Aceng Zakaria
Diambil dari Buku Etika Bisnis dalam Islam (Cet. Pertama, September 2012 M/ Dzulqa’dah 1433 H) Hal. 196 – 200
Penulisan hadits copy paste dari www.carihadis.com (GMN.ed)

  

Ust. Aceng Zakaria


Pengertian Rahn

 

Rahn menurut bahasa artinya: al-Habsu, yaitu menahan atau mengikat. Adapun menurut syara’ ialah:

 

جَعْلُ عَيْنٍ وَثِيْقَةً بِدَيْنٍ يُسْتَوْفَى مِنْهَا عِنْدَ تَعَذُّرِ وَفَائِهِ.

 

“Menjadikan sesuatu (harta) sebagai jaminan atas hutang atau pinjaman yang dapat dibayar dengan harta tersebut di saat mendapatkan kesulitan untuk membayarnya.”

 

Rahn termasuk akad Tabarru (sukarela), upaya menolong dan membantu kesulitan orang lain. Dan bukan akad profit atau usaha mencari keuntungan. Akad rahn disyari’atkan dalam Islam, di antaranya:

 

وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ...

 

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)... (QS. Al-Baqarah; 2: 183)

 

Demikian juga Nabi pernah menggadaikan baju besi sebagaimana dalam hadits berikut:

 

حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ مَحْبُوبٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ قَالَ تَذَاكَرْنَا عِنْدَ إِبْرَاهِيمَ الرَّهْنَ فِي السَّلَفِ فَقَالَ حَدَّثَنِي الْأَسْوَدُ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ وَارْتَهَنَ مِنْهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ  -رواه البخاري -[1]

 

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mahbub[2] telah menceritakan kepada kami 'Abdul Wahid[3] telah menceritakan kepada kami Al A'masy[4] berkata; "Kami pernah saling menceritakan dihadapan Ibrahim[5] tentang jual beli As-Salaf, maka dia berkata; Telah telah menceritakan kepada saya Al Aswad[6] dari 'Aisyah radliallahu 'anha[7] bahwa Nabi pernah membeli makanan dari orang Yahudi (dengan pembayaran di belakang dengan ketentuan waktu tertentu) dan beliau gadaikan baju besi Beliau (sebagai jaminan) ". (HR. Al-Bukhari)

 


Unsur-unsur Rahn


Rahn artinya: gadai atau borgh.

Rahin artinya: orang yang menggadaikan.

Murtahin artinya: orang yang menerima gadaian, ialah orang yang berpiutang.

Marhun artinya: barang yang digadaikan, yaitu barang yang dijadikan jaminan.

Marhun Bihi artinya: hutangan atau pinjaman Rahin.

 

Contoh:

 

Si A meminjam uang kepada si B sebanyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dengan memberikan jaminan sawah seluas 100 tumbak untuk dibayar pada saat tertentu. Dan jika telah jatuh tempo belum dibayar, maka tanah tersebut adalah jaminannya dan dapat dijual oleh Murtahin.

Si A sebagai peminjam disebut Rahin. Si B sebagai pemberi pinjaman disebut Murtahin. Sawah 100 tumbak disebut Marhun. Hutang Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) disebut Marhun Bihi.

 

Persyaratan Rahn

 

Persyaratan Rahin dan Murtahin sama dengan persyaratan jual-beli, yaitu: orang yang baligh (dewasa) dan berakal. Marhun adalah berupa barang atau benda yang dapat diserahkan langsung kepada Murtahin, baik barangnya langsung atau surat-suratnya, seperti Akta Jual Beli atau Sertifikatnya.

 

Akad Rahn tidak berarti pindah milik tetapi Marhun itu tetap milik si Rahin. Oleh karenanya sawah yang digadaikan tetap milik si Rahin, demikian juga hasilnya adalah masih milik si Rahin (pemilik/ orang yang menggadaikan).

 

Kecuali jika menggadaikan barang yang memerlukan pengurusan, maka si Murtahin boleh memanfaatkan barang tersebut untuk memenuhi kebutuhan pengurusannya. Contoh: jika seseorang menggadaikan sapi, tentu saja memerlukan pengurusan dan pembiayaan, maka si Murtahin boleh memanfaatkan Marhun demi menutupi kebutuhannya, yaitu dengan mengambil air susunya untuk biaya pengurusannya, sebagaimana hadits Nabi :

 

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا زَكَرِيَّاءُ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ (رواه البخاري)[8] 

 

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muqatil[9] telah mengabarkan kepada kami 'Abdullah[10] telah mengabarkan kepada kami Zakariya'[11] dari Asy-Sya'biy[12] dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu[13] berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "(Hewan) boleh dikendarai jika digadaikan dengan pembayaran tertentu, susu hewan juga boleh diminum bila digadaikan dengan pembayaran tertentu, dan terhadap orangyang mengendarai dan meminum susunya wajib membayar". (HR. Bukhari)

 

 

Praktek Rahn yang Terlarang

 

Banyak praktek gadai di masyarakat dengan cara seperti: Si A (Rahin) butuh uang Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) sedang dia punya sawah 100 tumbak. Kemudian sawah tersebut digadaikan kepada si B (Murtahin) dengan uang Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), kemudian sawah diserahkan kepada si B dan hasilnya pun menjadi milik si B sampai uang tersebut dikembalikan. Maka di saat si A mengembalikan pinjamannya, baru sawah tersebut diserahkan kembali oleh si B kepada si A.

 

Berarti, si B menerima pengembalian uang sebanyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan mendapatkan keuntungan dari sawah gadaiannya selama digarap olehnya, katakanlah Rp. 4.000.000,- (empat juta rupiah) selama dua tahun. Berarti si B menerima pengembalian Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) ditambah keuntungan dari sawah sebanyak  
Rp. 4.000.000,- (empat juta rupiah) sama dengan Rp. 14.000.000,- (empat belas juta rupiah).

 

Cara gadai seperti ini TERLARANG dan termasuk RIBA karena telah mendapatkan KELEBIHAN uang sebanyak Rp. 4.000.000,- (empat juta rupiah) dari hasil (si Murtahin) meminjamkan uangnya.

 

***



[2] Muhammad bin Mahbub, Al Bananiy, Abu 'Abdullah , Tabi'ul Atba' kalangan tua, wafat tahun 223 H, hidup di Bashrah.

[3] Abdul Wahid bin Ziyad, Al 'Abdiy, Abu Bisyir, Tabi'ut Tabi'in kalangan pertengahan, wafat tahun 176 H, hidup di Bashrah.

[4] Sulaiman bin Mihran, Al Asadiy Al Kahiliy, Abu Muhammad, Al A'masy, Tabi'in kalangan biasa, wafat tahun 147 H, hidup di Kufah.

[5] Ibrahim bin Yazid bin Qays, An Nakha'iy, Abu 'Imrah, Tabi'in kalangan biasa, wafat tahun 96 H, hidup di Kufah.

[6] Al Aswad bin Yazid bin Qais, An Nakha'iy, Abu 'Amru, Tabi'in kalangan tua, wafat tahun 75 H, hidup di Kufah, wafat di Kufah.

[7] Aisyah binti Abi Bakar Ash Shiddiq, At Taymiyyah, Ummu 'Abdullah, Ummu Al Mu'minin, Shahabat, wafat tahun 58 H, hidup di Madinah, wafat di Madinah.

[8] https://carihadis.com/Shahih_Bukhari/2329

[9] Muhammad bin Muqatil, Al Marwazi Al Kasa'iy, Abu Al Hasan, Rukh, Tabi'in kalangan biasa, wafat tahun 226 H, hidup di Baghdad, wafat di Marur Rawdz.

[10] Abdullah bin Al Mubarak bin Wadlih, Al Hanzhaliy Al Marwaziy, Abu 'Abdur Rahman, Abdan, Tabi'ut Tabi'in kalangan pertengahan, wafat tahun 181 H, hidup di Himash, wafat di Herrat.

[11] Zakariya bin Abi Za'idah Khalid, Al Hamdaniy Al Wadi'iy, Abu Yahya, Tabi'in (tdk jumpa Shahabat), wafat tahun 148 H, hidup di Kufah.

[12] Amir bin Syarahil, Asy Sya'biy Al Humairiy, Abu 'Amru, Tabi'in kalangan pertengahan, wafat tahun 104 H, hidup di Kufah, wafat di Kufah.

[13] Abdur Rahman bin Shakhr, Ad Dawsiy Al Yamaniy, Abu Hurairah, Shahabat, wafat tahun 57 H, hidup di Madinah, wafat di Madinah.

Saran Bacaan untuk Anda

Adab Murid dan Guru

Oleh: سعيد حوى   Murid memiliki adab dan tugas (wazhifah) lahiriyah yang banyak, di antara abab dan tugas seorang murid adalah tidak b...

Postingan Terpopuler