‘Akad Rahn (Gadai)
Diambil dari Buku Etika Bisnis dalam Islam (Cet. Pertama, September 2012 M/ Dzulqa’dah 1433 H) Hal. 196 – 200
Penulisan hadits copy paste dari www.carihadis.com (GMN.ed)
![]() |
Ust. Aceng Zakaria |
Pengertian Rahn
Rahn menurut bahasa artinya: al-Habsu, yaitu
menahan atau mengikat. Adapun menurut syara’ ialah:
جَعْلُ عَيْنٍ وَثِيْقَةً بِدَيْنٍ يُسْتَوْفَى مِنْهَا عِنْدَ تَعَذُّرِ
وَفَائِهِ.
“Menjadikan sesuatu (harta) sebagai jaminan atas hutang atau
pinjaman yang dapat dibayar dengan harta tersebut di saat mendapatkan kesulitan
untuk membayarnya.”
Rahn termasuk akad Tabarru (sukarela), upaya menolong dan
membantu kesulitan orang lain. Dan bukan akad profit atau usaha mencari
keuntungan. Akad rahn disyari’atkan dalam Islam, di antaranya:
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ
مَقْبُوضَةٌ...
“Jika kamu dalam perjalanan (dan
bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)...
(QS. Al-Baqarah; 2: 183)
Demikian juga Nabi ﷺ pernah menggadaikan baju
besi sebagaimana dalam hadits berikut:
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ مَحْبُوبٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ
الْوَاحِدِ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ قَالَ تَذَاكَرْنَا عِنْدَ إِبْرَاهِيمَ الرَّهْنَ
فِي السَّلَفِ فَقَالَ حَدَّثَنِي الْأَسْوَدُ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا
إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ وَارْتَهَنَ مِنْهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ -رواه البخاري -[1]
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Mahbub[2]
telah menceritakan kepada kami 'Abdul Wahid[3]
telah menceritakan kepada kami Al A'masy[4]
berkata; "Kami pernah saling menceritakan dihadapan Ibrahim[5]
tentang jual beli As-Salaf, maka dia berkata; Telah telah menceritakan kepada
saya Al Aswad[6]
dari 'Aisyah radliallahu 'anha[7]
bahwa Nabi ﷺ pernah membeli makanan dari orang Yahudi
(dengan pembayaran di belakang dengan ketentuan waktu tertentu) dan beliau
gadaikan baju besi Beliau (sebagai jaminan) ". (HR. Al-Bukhari)
Unsur-unsur Rahn
Rahn artinya: gadai atau
borgh.
Rahin artinya: orang yang
menggadaikan.
Murtahin artinya: orang yang
menerima gadaian, ialah orang yang berpiutang.
Marhun artinya: barang yang
digadaikan, yaitu barang yang dijadikan jaminan.
Marhun Bihi artinya: hutangan atau
pinjaman Rahin.
Contoh:
Si A meminjam uang kepada si B sebanyak Rp.
10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dengan memberikan jaminan sawah seluas 100
tumbak untuk dibayar pada saat tertentu. Dan jika telah jatuh tempo belum
dibayar, maka tanah tersebut adalah jaminannya dan dapat dijual oleh Murtahin.
Si A sebagai peminjam disebut Rahin. Si B sebagai
pemberi pinjaman disebut Murtahin. Sawah 100 tumbak disebut Marhun. Hutang Rp.
10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) disebut Marhun Bihi.
Persyaratan Rahn
Persyaratan Rahin dan Murtahin sama dengan
persyaratan jual-beli, yaitu: orang yang baligh (dewasa) dan berakal. Marhun
adalah berupa barang atau benda yang dapat diserahkan langsung kepada Murtahin,
baik barangnya langsung atau surat-suratnya, seperti Akta Jual Beli atau
Sertifikatnya.
Akad Rahn tidak berarti pindah milik tetapi
Marhun itu tetap milik si Rahin. Oleh karenanya sawah yang digadaikan tetap
milik si Rahin, demikian juga hasilnya adalah masih milik si Rahin (pemilik/
orang yang menggadaikan).
Kecuali jika menggadaikan barang yang memerlukan
pengurusan, maka si Murtahin boleh memanfaatkan barang tersebut untuk memenuhi
kebutuhan pengurusannya. Contoh: jika seseorang menggadaikan sapi, tentu saja
memerlukan pengurusan dan pembiayaan, maka si Murtahin boleh memanfaatkan
Marhun demi menutupi kebutuhannya, yaitu dengan mengambil air susunya untuk
biaya pengurusannya, sebagaimana hadits Nabi ﷺ:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ
اللَّهِ أَخْبَرَنَا زَكَرِيَّاءُ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّهْنُ
يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ
إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ (رواه البخاري)[8]
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Muqatil[9]
telah mengabarkan kepada kami 'Abdullah[10]
telah mengabarkan kepada kami Zakariya'[11]
dari Asy-Sya'biy[12]
dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu[13]
berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "(Hewan) boleh
dikendarai jika digadaikan dengan pembayaran tertentu, susu hewan juga boleh
diminum bila digadaikan dengan pembayaran tertentu, dan terhadap orangyang
mengendarai dan meminum susunya wajib membayar". (HR. Bukhari)
Praktek Rahn yang Terlarang
Banyak praktek gadai di masyarakat dengan cara
seperti: Si A (Rahin) butuh uang Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) sedang
dia punya sawah 100 tumbak. Kemudian sawah tersebut digadaikan kepada si B
(Murtahin) dengan uang Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), kemudian sawah
diserahkan kepada si B dan hasilnya pun menjadi milik si B sampai uang tersebut
dikembalikan. Maka di saat si A mengembalikan pinjamannya, baru sawah tersebut
diserahkan kembali oleh si B kepada si A.
Berarti, si B menerima pengembalian uang sebanyak
Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan mendapatkan keuntungan dari sawah
gadaiannya selama digarap olehnya, katakanlah Rp. 4.000.000,- (empat juta
rupiah) selama dua tahun. Berarti si B menerima pengembalian Rp. 10.000.000,-
(sepuluh juta rupiah) ditambah keuntungan dari sawah sebanyak
Rp. 4.000.000,- (empat juta rupiah) sama dengan Rp. 14.000.000,- (empat belas
juta rupiah).
Cara gadai seperti ini TERLARANG dan termasuk
RIBA karena telah mendapatkan KELEBIHAN uang sebanyak Rp. 4.000.000,- (empat
juta rupiah) dari hasil (si Murtahin) meminjamkan uangnya.
***
[2]
Muhammad bin Mahbub, Al Bananiy, Abu 'Abdullah ,
Tabi'ul Atba' kalangan tua, wafat tahun 223 H, hidup di Bashrah.
[3]
Abdul Wahid bin Ziyad, Al 'Abdiy, Abu Bisyir, Tabi'ut
Tabi'in kalangan pertengahan, wafat tahun 176 H, hidup di Bashrah.
[4]
Sulaiman bin Mihran, Al Asadiy Al Kahiliy, Abu
Muhammad, Al A'masy, Tabi'in kalangan biasa, wafat tahun 147 H, hidup di Kufah.
[5]
Ibrahim bin Yazid bin Qays, An Nakha'iy, Abu 'Imrah,
Tabi'in kalangan biasa, wafat tahun 96 H, hidup di Kufah.
[6]
Al Aswad bin Yazid bin Qais, An Nakha'iy, Abu 'Amru,
Tabi'in kalangan tua, wafat tahun 75 H, hidup di Kufah, wafat di Kufah.
[7]
Aisyah binti Abi Bakar Ash Shiddiq, At Taymiyyah,
Ummu 'Abdullah, Ummu Al Mu'minin, Shahabat, wafat tahun 58 H, hidup di Madinah,
wafat di Madinah.
[8]
https://carihadis.com/Shahih_Bukhari/2329
[9]
Muhammad bin Muqatil, Al Marwazi Al Kasa'iy, Abu Al
Hasan, Rukh, Tabi'in kalangan biasa, wafat tahun 226 H, hidup di Baghdad, wafat
di Marur Rawdz.
[10]
Abdullah bin Al Mubarak bin Wadlih, Al Hanzhaliy Al
Marwaziy, Abu 'Abdur Rahman, Abdan, Tabi'ut Tabi'in kalangan pertengahan, wafat
tahun 181 H, hidup di Himash, wafat di Herrat.
[11]
Zakariya bin Abi Za'idah Khalid, Al Hamdaniy Al
Wadi'iy, Abu Yahya, Tabi'in (tdk jumpa Shahabat), wafat tahun 148 H, hidup di
Kufah.
[12]
Amir bin Syarahil, Asy Sya'biy Al Humairiy, Abu
'Amru, Tabi'in kalangan pertengahan, wafat tahun 104 H, hidup di Kufah, wafat
di Kufah.
[13]
Abdur Rahman bin Shakhr, Ad Dawsiy Al Yamaniy, Abu
Hurairah, Shahabat, wafat tahun 57 H, hidup di Madinah, wafat di Madinah.