TAQLIED KEPADA ‘ULAMA’
SOAL: Bolehkah kita percaya kepada ‘ulama’ dan bolehkah kita taqlied
kepada mereka?
JAWAB: Dua pertanyaan itu, maksudnya sama saja, yaitu di dalam
urusan agama, bolehkah kita berpegang kepada ‘ulama’ dengan tidak ada
keterangan dari Allah dan Rasul-Nya?
Buat menggampangkan soal-jawab di
dalam hal yang tersebut itu, perlu kita tahu dulu arti ijtihad (اجتِهاد), ittiba’ (اتباع), dan taqlied (تقليد). Begitu juga perkataan
mujtahid (مجتهد),
muttabi’ (متبع), dan
muqallid (مقلد).
Ijtihad (اجتِهاد) itu artinya yang asal, ialah
bersungguh-sungguh dan artinya yang dipakai oleh ‘ulama’, ialah
bersungguh-sungguh memeriksa dan memaham dalam-dalam akan keterangan dari
Qur’an dan Hadits, hingga buat pertanyaan yang sulit-sulit dan buat
kejadian-kejadian yang luar biasa itu, bisa mereka dapatkan hukumnya dari
Qur’an atau hadits atas jalan faham dengan susah payah atau jalan qias.
Orang bekerja semacam yang
tersebut itu, dinamakan mujtahid (مجتهد).
Orang yang jadi mujtahid itu
tentulah perlu mengetahui bahasa ‘Arab sekedar cukup buat mengerti
keterangan-keterangan itu dengan jelas, sebagaimana ia mengerti bahasanya
sendiri, kalau ia bukan orang’ Arab.
Ijtihad itu, perlu sangat di
dalam hal keduniaan, yaitu umpamanya ada satu kejadian yang baru, sedang di
Qur’an atau di hadits tidak tersebut terang hukumnya tentang hal itu, maka di
waktu itu, perlu hakim, atau ketua Islam, berijtihad dan diqiaskan hal itu
dengan hukum-hukum Islam yang sudah ada tersebut terang di Qur’an atau hadits,
dengan beberapa sebab, yaitu sebagai zakat dari barang-barang makanan keluaran
bumi umpamanya.
Di dalam Islam ada tersebut,
wajib kita keluarkan zakat dari gandum, dan zakat itu buat orang-orang miskin
dan urusan umum dan lainnya. Tetapi sekarang di sini tidak ada gandum, hanya
ada padi, sedang orang-orang miskin dan keperluan umum tetap ada.
Maka disini baru boleh diqiaskan[2], karena ada keperluan dan
ada jalan dan sebab buat diqiaskan.
Di negeri ‘Arab dikeluarkan zakat
dari makanan negeri yang umum, yaitu gandum, lantas diberikan kepada orang
miskin. Maka disini juga diambil zakat dari makanan negeri yang umum, yaitu
beras atau sagu atau lainnya, lantas diberikan kepada orang miskin.
Maka qias itu berlaku atas padi
dan beras atau sagu tadi, ialah karena barang-barang itu jadi makanan umum di
sini, sebagaimana gandum jadi makanan umu di sana.
Orang yang mujtahid, memang
dipuji oleh agama, bahkan boleh dibilang diwajibkan ijtihad atas orang-orang
yang bisa.
Ittiba’ (اتباع) itu artinya yang asal, ialah menurut, dan
artinya yang dipakai ‘ulama’ yaitu menurut apa-apa perintah, larangan dan
perbuatan Rasul dan perbuatan sahabat-sahabatnya, maupun ia dapat
perintah-perintah, larangan-larangan dan perbuatan-perbuatan itu dari membaca
sendiri, ataupun ia dapat karena bertanya kepada ulama-ulama bukan bertanya
pikiran ulama-ulama.
ittiba’ (اتباع) itu, tidak perla tahu bahasa ‘Arab karena
keperluannya hanya untuk mengerti sesuatu hukum yang biasa buat beramal, bukan
untuk memeriksa dalam-dalam buat qias meng-qias, memberi fatwa dan sebagainya.
Kewajiban UMMAT Islam di dalam
hal berpegang kepada agama itu, hanya atas dua jalan, yaitu berijtihad dan
berittiba’, tidak lain.
Di antara sahabat-sahabat Nabi ﷺ, tidak
berapa banyak mujtahid, tetapi selain dari mujtahid itu, semuanya muttabi’
(متبع). Tidak ada seorangpun sahabat
Nabi yang muqallid, karena kalau mereka tidak mengetahui sesuatu hukum lantas
mereka bertanya kepada Nabi sendiri atau kepada sahabat-sahabat Nabi begaimana
perintah Nabi di perkara itu.[3]
Orang yang ittiba’ itu kalau berjumpa dua keterangan yang
berlawanan, maka pada masa itu, wajib ia
periksa betul-betul mana yang quat.
Umpamanya ada orang berkata, bahwa ada hadits yang
mengatakan membaca Al-Fatihah di belakang imam itu wajib dan ada lain orang
alim pula berkata, bahwa ada hadits mengatakan tidak boleh membaca Al-Fatihah
di belakang imam, maka pada masa itu, si muttabi’ wajib memeriksa mana yang
lebih quat keterangannya, karena di antara dua hadits itu, tentu ada yang
lemah.
Jangan ia berkata: “Saya tak bisa periksa, karena saya
bukan orang alim.”
Kalau mau, semua bisa!
Ingatlah, bahwa kalau ada tersiar khabaran tentang terbit
uang palsu, maka pada masa itu, masing-masing yang mempunyai uang memeriksa
dengan sungguh-sungguh hingga bisa ia kenal antara yang palsu dengan yang tidak
palsu.
Mengapakah tidak ia berkata: “Saya tak tahu memeriksa uang
palsu, karena saya bukan orang bank”?
Mengapakah di perkara akhirat saja orang-orang suka
berkata: “Saya tak bisa”?
Taqlied (تقليد), artinya yang ashal, ialah meniru; adan
artinya yang digunakan oleh ahli agama, yaitu menurut perkataan atau perbuatan
seseorang di dalam hal agama dengan tidak mengetahui keterangan dari Qur’an
atau hadits di tentang itu. Orang yang menuruti orang lain seperti itu
dinamakan muqallid (مقلد).
Taqlid itu dilarang oleh
agama.
Firman Allah:
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا
“Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Israa’, 17:36)
Dan
Firman Allah:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
“maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui,” (QS. An-Nahl, 16:43)
Bukan
Allah saja melarang orang-orang bertaqlid, tetapi imam-imam yang mereka taqlidi
itu sendiri, melarang keras orang-orang bertaqlid kepada mereka.
Imam
Hanafi melarang orang bertaqlid kepadanya. Begitu juga sahabatnya yang bernama
Abu Yusuf. Begitu juga imam-imam Maliki, Syafi’i. Dan teristimewa sekali imam
Hanbali, ia berkata “Janganlah kamu taqlid kepadaku, dan jangan kepada Malik
dan jangan kepada Syafi’i, tetapi ambillah agama kamu darimana mereka itu
ambil”.
Heran
kita memikirkan orang-orang kita sekarang! Mereka mengaku bertaqlid kepada
imam-imam, padahal Allah, Rasul-Nya dan imam-imam yang mereka taqlidi sendiri,
melarang mereka bertaqlid.
Kalau
kita tidak mau turut Allah dan Rasul, dan tidak mau turut perkataan imam-imam
yang setuju dengan perkataan Allah dan Rasul, patutkah kita bergelar orang
Islam?
Orang-orang
kita disini, mengaku menurut imam Syafi’i maka cobalah mereka dan guru-guru
mereka yang ‘alim unjukkan satu perkataan Imam Syafi’i tentang membenarkan
orang bertaqlid. Tukang-tukang taqlid yang sudah kehabisan alasan sering
berkata bahwa, “Kami tidak bisa faham Qur’an dan hadits lantaran payahnya. Oleh
sebab itu, kami turut-turut imam-imam saja”. Perkataan itu dusta belaka.
Sebenarnya Qur’an dan hadits tidak lebih payah darpada kitab imam-imam. Bahkan
Qur’an dan hadits bisa difaham dengan lebih gampang, karena ada banyak
penerangan-penerangannya yang dibikin oleh orang-orang dahulu. Dengan sedikit
keterangan itu saja, bisalah difaham bahwa orang Islam yang bisa ijtihad itu
wajib ijtihad, kalau perlu; dan yang lain-lain daripada itu, wajib ittiba’.
Adapun taqlid itu tidak halal sama sekali.
A.H.
AbahnaJafits’s
Corner Private Library
Al-Furqan
Islamic Kid and Youth Study Club
Sanggar Indah Banjaran L7 No. 7, Nagrak,
Cangkuang-Kab. Bandung
[1]
Disalin ulang dari KITAB SOAL-JAWAB TENTANG BERBAGAI MASALAH (jilid 1-2-3) A.
Hassan. Penerbit c.v. DIPENOGORO Bandung, Jl. Moh. Toha 44-46, 1985.
[2]
“Diqiaskan” disini boleh dimaknakan “dimasukkan”, karena dalam hadits riwayat
Bukhari dan Muslim ada mengeluarkan “makanan” sedang kata-kata “makanan” itu
umum.
[3]
Tetapi tidak pernah mereka bertanya apa pikiran (pendapat) orang di perkara
itu.