Kamis, 10 September 2020

SOAL-JAWAB TENTANG TAQLIED[1] (Bagian 1)



TAQLIED KEPADA ‘ULAMA’

SOAL: Bolehkah kita percaya kepada ‘ulama’ dan bolehkah kita taqlied kepada mereka?

JAWAB: Dua pertanyaan itu, maksudnya sama saja, yaitu di dalam urusan agama, bolehkah kita berpegang kepada ‘ulama’ dengan tidak ada keterangan dari Allah dan Rasul-Nya?
Buat menggampangkan soal-jawab di dalam hal yang tersebut itu, perlu kita tahu dulu arti ijtihad (اجتِهاد), ittiba’ (اتباع), dan taqlied (تقليد). Begitu juga perkataan mujtahid (مجتهد), muttabi’ (متبع), dan muqallid (مقلد).
Ijtihad (اجتِهاد) itu artinya yang asal, ialah bersungguh-sungguh dan artinya yang dipakai oleh ‘ulama’, ialah bersungguh-sungguh memeriksa dan memaham dalam-dalam akan keterangan dari Qur’an dan Hadits, hingga buat pertanyaan yang sulit-sulit dan buat kejadian-kejadian yang luar biasa itu, bisa mereka dapatkan hukumnya dari Qur’an atau hadits atas jalan faham dengan susah payah atau jalan qias.
Orang bekerja semacam yang tersebut itu, dinamakan mujtahid (مجتهد).
Orang yang jadi mujtahid itu tentulah perlu mengetahui bahasa ‘Arab sekedar cukup buat mengerti keterangan-keterangan itu dengan jelas, sebagaimana ia mengerti bahasanya sendiri, kalau ia bukan orang’ Arab.
Ijtihad itu, perlu sangat di dalam hal keduniaan, yaitu umpamanya ada satu kejadian yang baru, sedang di Qur’an atau di hadits tidak tersebut terang hukumnya tentang hal itu, maka di waktu itu, perlu hakim, atau ketua Islam, berijtihad dan diqiaskan hal itu dengan hukum-hukum Islam yang sudah ada tersebut terang di Qur’an atau hadits, dengan beberapa sebab, yaitu sebagai zakat dari barang-barang makanan keluaran bumi umpamanya.
Di dalam Islam ada tersebut, wajib kita keluarkan zakat dari gandum, dan zakat itu buat orang-orang miskin dan urusan umum dan lainnya. Tetapi sekarang di sini tidak ada gandum, hanya ada padi, sedang orang-orang miskin dan keperluan umum tetap ada.
Maka disini baru boleh diqiaskan[2], karena ada keperluan dan ada jalan dan sebab buat diqiaskan.
Di negeri ‘Arab dikeluarkan zakat dari makanan negeri yang umum, yaitu gandum, lantas diberikan kepada orang miskin. Maka disini juga diambil zakat dari makanan negeri yang umum, yaitu beras atau sagu atau lainnya, lantas diberikan kepada orang miskin.
Maka qias itu berlaku atas padi dan beras atau sagu tadi, ialah karena barang-barang itu jadi makanan umum di sini, sebagaimana gandum jadi makanan umu di sana.
Orang yang mujtahid, memang dipuji oleh agama, bahkan boleh dibilang diwajibkan ijtihad atas orang-orang yang bisa.
Ittiba’ (اتباع) itu artinya yang asal, ialah menurut, dan artinya yang dipakai ‘ulama’ yaitu menurut apa-apa perintah, larangan dan perbuatan Rasul dan perbuatan sahabat-sahabatnya, maupun ia dapat perintah-perintah, larangan-larangan dan perbuatan-perbuatan itu dari membaca sendiri, ataupun ia dapat karena bertanya kepada ulama-ulama bukan bertanya pikiran ulama-ulama.
ittiba’ (اتباع) itu, tidak perla tahu bahasa ‘Arab karena keperluannya hanya untuk mengerti sesuatu hukum yang biasa buat beramal, bukan untuk memeriksa dalam-dalam buat qias meng-qias, memberi fatwa dan sebagainya.
Kewajiban UMMAT Islam di dalam hal berpegang kepada agama itu, hanya atas dua jalan, yaitu berijtihad dan berittiba’, tidak lain.
 Di antara sahabat-sahabat Nabi ﷺ, tidak berapa banyak mujtahid, tetapi selain dari mujtahid itu, semuanya muttabi’ (متبع). Tidak ada seorangpun sahabat Nabi yang muqallid, karena kalau mereka tidak mengetahui sesuatu hukum lantas mereka bertanya kepada Nabi sendiri atau kepada sahabat-sahabat Nabi begaimana perintah Nabi di perkara itu.[3]
Orang yang ittiba’ itu kalau berjumpa dua keterangan yang berlawanan, maka pada masa itu,  wajib ia periksa betul-betul mana yang quat.
Umpamanya ada orang berkata, bahwa ada hadits yang mengatakan membaca Al-Fatihah di belakang imam itu wajib dan ada lain orang alim pula berkata, bahwa ada hadits mengatakan tidak boleh membaca Al-Fatihah di belakang imam, maka pada masa itu, si muttabi’ wajib memeriksa mana yang lebih quat keterangannya, karena di antara dua hadits itu, tentu ada yang lemah.
Jangan ia berkata: “Saya tak bisa periksa, karena saya bukan orang alim.”
Kalau mau, semua bisa!
Ingatlah, bahwa kalau ada tersiar khabaran tentang terbit uang palsu, maka pada masa itu, masing-masing yang mempunyai uang memeriksa dengan sungguh-sungguh hingga bisa ia kenal antara yang palsu dengan yang tidak palsu.
Mengapakah tidak ia berkata: “Saya tak tahu memeriksa uang palsu, karena saya bukan orang bank”?
Mengapakah di perkara akhirat saja orang-orang suka berkata: “Saya tak bisa”?
Taqlied (تقليد), artinya yang ashal, ialah meniru; adan artinya yang digunakan oleh ahli agama, yaitu menurut perkataan atau perbuatan seseorang di dalam hal agama dengan tidak mengetahui keterangan dari Qur’an atau hadits di tentang itu. Orang yang menuruti orang lain seperti itu dinamakan muqallid (مقلد).

Taqlid itu dilarang oleh agama.

Firman Allah:
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Israa’, 17:36)

Dan Firman Allah:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
“maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” (QS. An-Nahl, 16:43)

Bukan Allah saja melarang orang-orang bertaqlid, tetapi imam-imam yang mereka taqlidi itu sendiri, melarang keras orang-orang bertaqlid kepada mereka.
Imam Hanafi melarang orang bertaqlid kepadanya. Begitu juga sahabatnya yang bernama Abu Yusuf. Begitu juga imam-imam Maliki, Syafi’i. Dan teristimewa sekali imam Hanbali, ia berkata “Janganlah kamu taqlid kepadaku, dan jangan kepada Malik dan jangan kepada Syafi’i, tetapi ambillah agama kamu darimana mereka itu ambil”.
Heran kita memikirkan orang-orang kita sekarang! Mereka mengaku bertaqlid kepada imam-imam, padahal Allah, Rasul-Nya dan imam-imam yang mereka taqlidi sendiri, melarang mereka bertaqlid.
Kalau kita tidak mau turut Allah dan Rasul, dan tidak mau turut perkataan imam-imam yang setuju dengan perkataan Allah dan Rasul, patutkah kita bergelar orang Islam?
Orang-orang kita disini, mengaku menurut imam Syafi’i maka cobalah mereka dan guru-guru mereka yang ‘alim unjukkan satu perkataan Imam Syafi’i tentang membenarkan orang bertaqlid. Tukang-tukang taqlid yang sudah kehabisan alasan sering berkata bahwa, “Kami tidak bisa faham Qur’an dan hadits lantaran payahnya. Oleh sebab itu, kami turut-turut imam-imam saja”. Perkataan itu dusta belaka. Sebenarnya Qur’an dan hadits tidak lebih payah darpada kitab imam-imam. Bahkan Qur’an dan hadits bisa difaham dengan lebih gampang, karena ada banyak penerangan-penerangannya yang dibikin oleh orang-orang dahulu. Dengan sedikit keterangan itu saja, bisalah difaham bahwa orang Islam yang bisa ijtihad itu wajib ijtihad, kalau perlu; dan yang lain-lain daripada itu, wajib ittiba’. Adapun taqlid itu tidak halal sama sekali.
A.H.






AbahnaJafits’s Corner Private Library
Al-Furqan Islamic Kid and Youth Study Club
Sanggar Indah Banjaran L7 No. 7, Nagrak, Cangkuang-Kab. Bandung


[1] Disalin ulang dari KITAB SOAL-JAWAB TENTANG BERBAGAI MASALAH (jilid 1-2-3) A. Hassan. Penerbit c.v. DIPENOGORO Bandung, Jl. Moh. Toha 44-46, 1985.
[2] “Diqiaskan” disini boleh dimaknakan “dimasukkan”, karena dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim ada mengeluarkan “makanan” sedang kata-kata “makanan” itu umum.
[3] Tetapi tidak pernah mereka bertanya apa pikiran (pendapat) orang di perkara itu.

Saran Bacaan untuk Anda

Adab Murid dan Guru

Oleh: سعيد حوى   Murid memiliki adab dan tugas (wazhifah) lahiriyah yang banyak, di antara abab dan tugas seorang murid adalah tidak b...

Postingan Terpopuler